Tuesday, December 15, 2009

PERGI JAHANAM PEROSAK AGAMA ISLAM MODERAT


Kebelakangan ini saya sering membaca idea-idea yang diklaim sebagai Islam moderat. Para ulama' yang memperjuangkan idea Islam moderat ini tanpa segan silu menyuarakan idea mereka. Tanpa selindung mereka menyerang gerakan Islam seperti Al Qaeda dan Hizbut Tahrir dengan menyifat mereka sebagai esktrimis. Golongan Islam moderat ini cuba menyesuaikan Islam dengan sistem kufur hari ini dengan mengambil jalan tengah yang dianggap moderat. Ulama'-ulama' Islam moderat ini mendapat liputan media dan dokongan yang menyebabkan ummat percaya dan meletakkan harapan kepada mereka. Apatah lagi mereka menghidangkan Islam yang disesuaikan dengan sistem kehidupan hari ini. Ia lebih merbahaya dari Islam liberal kerana Islam liberal jelas kesesatannya. Tetapi idea Islam moderat ini memberikan tafsiran baru kepada nas yang disesuaikan dengan kehendak kehidupan dalam sistem sekular hari ini. Malah US secara terang-terangan menekankan betapa pentingnya US memberikan sokongan baik secara langsung atau setidaknya secara tidak langsung kepada aliran Islam moderat. Saya sebenarnya berhasarat nak membicarakan tentang Islam moderat ini dengan lebih panjang, tetapi apa yang saya temui di website Hizbut Tahrir Indonesia ini saya kira lebih baik isinya berbanding jika saya tulis sendiri. Jadi saya kongsikan bersama, sudi-sudikan membaca.


Menggugat Islam Moderat
www.hizbut-tahrir.or.id

Sejumlah ummat Islam baik secara perorangan maupun kelompok mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok Islam moderat. Mereka mengklaim mengambil jalan tengah dari dua kutub ekstrim pemikiran dan pengamalan Islam yaitu kelompok fundamentalis dan kelompok liberal. Meski pada perkembangannya, Islam moderat lebih banyak dikonfrontasikan dengan Islam fundamentalis. Kelompok yang dicirikan memiliki pandangan politik dan keagamaan Islam yang ekstrim diantaranya upaya untuk menegakan Khilafah sebagai satu-satunya sistem politik yang absah.[1]

Sikap moderat atau jalan tengah sendiri mulai dikenal luas pada masa abad pencerahan di Eropa. Sebagaimana diketahui konflik antara pihak gerejawan yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan menghasilkan sikap kompromi. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik.[2]

Karakteristik

Para pemikir barat secara umum memiliki kriteria yang hampir seragam tentang muslim yang dikategorikan moderat. Daniel Pipes misalnya mengungkap sejumlah karakter muslim moderat antara lain: mengakui adanya persamaan hak-hak sipil antara muslim dan non muslim; membolehkan seorang muslim berpindah agama; membolehkan wanita muslim menikahi pria non-muslim; menerima dan setia pada hukum pemerintahan non-muslim; berpihak pada hukum sekular ketika terdapat pertentangan dengan budaya Islam. [3] John Esposito, menyatakan perbedaan signifikan antara radikal dan muslim moderat adalah kelompok radikal merasa bahwa Barat mengancam mereka dan berupaya mengontrol pandangan hidup mereka. Sementara kelompok moderat sangat bersemangat membangun hubungan dengan barat melalui pembangunan ekonomi. [4]

Robert Spencer–analis Islam terkemuka di AS–juga menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain: menolak pemberlakuan hukum Islam kepada non muslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak kewajiban untuk menarik pajak berdasarkan agama (jizyah) terhadap non-muslim (QS. 9:29); menolak supremasi Islam atas agama lain termasuk perintah untuk memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrahi hingga mereka tunduk (QS. 9:2); menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain atau tidak beragama harus dibunuh; mendorong kaum muslim untuk menghilangkan larangan nikah beda agama termasuk sanksi yang membolehkan suami memukul istri (QS. 4:34).[5]

Menjadi Alat


Muslim moderat sendiri bagi sejumlah pemikir Barat dipandang sangat cocok untuk hidup damai dengan seluruh orang di dunia. Sementara muslim radikal sangat berbahaya karena bermaksud menyingkirkan barat dan memperoleh kembali kejayaan Islam yang telah hilang. [6]

Oleh karena itu pemerintah Barat dituntut untuk mengembangkan berbagi strategi untuk melindungi kelompok moderat dan melakukan tindakan persuasif terhadap mereka yang mengancam pemerintahan barat.[7] Bahkan jika perlu mereka dapat menempuh berbagai cara antara lain: menggunakan sarana militer dan politik untuk mengalahkan kelompok radikal demi mengamankan kepentingan mereka; membantu kelompok moderat untuk mereformasi aqidah dan syariat Islam; mengisolasi kelompok ekstrimis serta membangun komunitas muslim yang dapat menjadi komonitas dunia yang demokratis. [8]

Sejumlah strategi pun disusun oleh untuk memberdayakan kelompok moderat agar mengubah dunia Islam sehingga sesuai dengan demokrasi dan tatanan internasional maka dilakukan dengan sejumlah cara. Strategi tersebut antara lain: mempublikasikan pemikiran mereka di media massa; mengkritik berbagai pandangan Islam fundamentalis; memasukkan pandangan mereke ke dalam kurikulum dan mengentalkan kesadaran budaya dan sejarah mereka yang non Islam dan pra Islam ketimbang Islam sendiri.[9]

Meski demikian sejumlah analis barat mengakui sejumlah kebijakan pemerintah AS tidak hanya berupaya mendukung kelompok-kolompok moderat namum juga yang dianggap radikal baik dengan pendidikan, uang dan dan legitimasi kekuasaan. Dengan kekuasaan misalnya diharapkan mereka menjadi lebih moderat dan lebih sibuk untuk mengurus jalan berlubang ketimbang memerangi negara-negara barat.[10]

Argumentasi

Sayangnya alih-alih menentang gagasan Islam moderat, sebagian kaum muslim justru beranggapan ide tersebut sejalan dengan Islam. Mereka berpandangan bahwa pemahaman dan praktek Islam yang terlalu ketat bertentangan dengan Islam. Meski demikian mereka juga tidak menginginkan adanya kebebasan yang melampaui demarkasi terluar agama Islam. Oleh karena itu sikap jalan tengah merupakan posisi yang paling tepat.

Bangunan argumentasi ide ini berangkat dari logika akal bahwa benda secara empirik memiliki dua kutub yang kontradiktif dan bagian tengah yang merupakan titik keseimbangan, keadilan dan keamanan dari dua kutubnya. Ini merupakan posisi yang paling baik. Ini pula yang dimiliki oleh Islam yang mengajarkan sikap moderat dalam segala hal baik berupa keyakian, syariat, ibadah , akhlak dan sebagainya.[11]

Lebih dari itu mereka menggunakan sejumlah ayat di dalam Al Quran yang dipandang menyerukan untuk mengambil tengah dalam berbagai hal. Salah satunya adalah firman Allah swt:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ

“Demikianlah kami jadikan kalian ummat yang wasath[an] (terbaik dan adil)…” (QS. al-Baqarah [2]: 143)

Ayat ini menurut dianggap telah memerintahkan ummat Islam untuk menjadi ummat yang moderat. Kata wasath[an] pada ayat tersebut diartikan di tengah-tengah. Dengan demikian umat Islam tidak boleh terlalu berlebih-lebihan dalam beragama seperti yang dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi. Namun sebaliknya mereka juga tidak boleh terlalu bebas sebagaimana halnya orang-orang Nashrani.

Ayat lain yang juga dijadikan sebagai pijakan adalah firman Allah swt:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang jika melakukan infaq tidak berlebihan dan tidak kikir namun ada di antaranya.” (QS al-Furqan [25]: 67)

Ayat ini telah membagi kategori orang dalam berinfaq yaitu orang kikir, boros dan yang moderat. Allah mencela sifat kikir dan boros dan memuji infaq yang moderat.

Sanggahan

Menganalogikan gagasan Islam moderat dengan materi jelas batil. Ini karena objek keduanya berbeda; satu benda sementara yang lain adalah pemikiran yang ukuran penilaian keduanya berbeda. Apalagi tidak semua bagian tengah suatu benda lebih baik dari ujungnya. Ujung polpen misalnya tentu lebih berguna dibandingkan bagian tengahnya.

Sementara itu penggunaan ayat di atas untuk menjustifikasi Islam moderat juga dipaksakan. Imam ath-Thabary misalnya mengartikan kata awsath dengan khiyâr yakni yang terbaik dan pilihan.[12] Sehingga, kata wasath pada ayat tersebut bermakna khiyâr.[13] Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah Islam yang diberikan kepada mereka. Ibnu Katsir menyatakan, Allah telah menjadikan umat ini sebagai ummah wasath, dengan memberikan keistimewaan pada mereka berupa syariah paling sempurna, manhaj paling lurus, dan madzhab paling jelas.[14] Status mulia itu dapat disandang manakala mereka menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Wasath juga bermakna bermakna ‘adl (adil). Dengan demikian ummat ini adalah ummat yang adil. Sebagaiman diketahui di dalam Islam sifat adil merupakan syarat kesaksian. Dengan demikian sebagaiman lanjutan ayat tersebut ummat Islam dapat bersaksi pada hari kiamat nanti bahwa mereka telah menyampaikan Islam kepada mereka yang tidak beragama Islam.

Demikian pula halnya dengan surat al Furqan [25]: 67 di atas. Ayat tersebut sama sekali tidak mendorong adanya jalan tengah. Para mufassir memiliki penafsiran beragam–meski tidak bertentangan antara satu dengan yang lain–tentang ayat tersebut (ikhtilaf tanawwu’). Jika dicermati kesimpulannya sama yaitu israf adalah membelanjakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah sementara kikir (iqtar) adalah sebaliknya, tidak membelanjakannya pada apa yang menjadi hak Allah.[15]

Oleh karena itu membeli khamar dan melakukan penyuapan misalnya dikategorikan sebagai perbuatan israf. Sementara mengabaikan kewajiban untuk membayar zakat dan naik haji bagi yang mampu, menafkahi istri dan anak, merupakan perbuatan kikir. Sementara sikap yang benar adalah selain keduanya yaitu tidak membelanjakan harta pada hal-hal yang haram dan membelankannya pada hal-hal yang diwajibkan.

Mengebiri Islam

Jalan tengah seperti dicirikan di atas nampak jelas merupakan gagasan yang mengabaikan sebagain dari ajaran Islam yang bersifat qat’iy baik dari sisi redaksi (dalalah) maupun sumbernya (tsubut) seperti superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS Ali Imran [3]: 85); kewajiban berhukum dengan hukum syara’ (QS al-Maidah [5]: 48); haramnya wanita muslimah menikah dengan orang kafir (QS al-Mumtahanah [60]: 10) dan kewajiban negara memerangi negara-negara kufur hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (QS at-Taubah [9]: 29).

Rasulullah dan para sahabat dan generasi Islam setelahnya di bawah pemerintahan Islam telah mempraktekkan hal tersebut dan bahkan telah menjadi ma’lumun min ad-din bidharurah. Rasulullah misalnya telah melaksanakan puluhan peperangan untuk melawan orang-orang kafir; menarik jizyah dari ahlu dzimmah; membunuh orang-orang yang murtad dari Islam; memotong tangan pencuri dan merajam mereka yang berzina.

Namun demikian di sisi lain meski Islam adalah agama yang unggul atas agama yang lain namun bukan berarti mereka yang beragama non Islam (kafir) harus dipaksa untuk memeluk agama Islam. Bandingkan dengan sistem demokrasi yang diklaim menghargai perbedaan pendapat namun berupaya memberangus pandangan kaum muslim yang dianggap ekstrim.

Demikian pula dengan jizyah, meski dipungut dari orang-orang kafir yang merupakan kompensasi dari pilihan mereka untuk hidup di dalam naungan pemerintahan Islam, namun mereka diperlakukan sama dalam kehidupan publik tanpa ada diskriminasi. Bandingkan dengan pajak yang dibebankan pada seluruh warga negara meski ia terkategori miskin. Oleh karena itu wajah pelaksanaan Islam hendaknya tidak dilihat sepotong-sepotong sehingga keindahannya dapat dinikmati dengan utuh.

Menimbang-nimbang ajaran Islam dengan mengambil yang menguntungkan dan menolak yang dianggap keras jelas bertentangan dengan sikap seorang muslim yang digambarkan oleh al-Quran:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu urusan mereka mencari pilihan lain dari urusan tersebut. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS Al-Ahzab [36]: 33)

Sebagaimana diketahui bahwa penetapan hukum dalam Islam semata di dasarkan nash-nash syara’ dengan metode istinbath yang sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip jalan tengah. Apapun hasil dari istinbath tersebut menjadi hukum yang mengikat bagi seseorang dan diyakini pasti mengandung kemaslahatan. Ini karena diyakini bahwa Allah swt merupakan zat yang paling mengetahui manusia beserta aturan yang layak baginya dibandingkan manusia itu sendiri (QS al-Maidah 5]: 50; al-Isra’ [17]: 53).

Adapun pandangan muslim moderat yang mengatakan bahwa penerapan hukum harus didasarkan pada maslahat (maqashidu syar’iyyah), maka cukup dikemukakan bahwa istilah maqashidu syariyyah yang digagas para ulama salaf tidak dapat diraih kecuali dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara paripurna. Dengan kata lain ia merupakan konsekuensi dari penerapan hukum-hukum Islam.[16] Bukan dengan menggunakan timbangan akal untuk menentukan perbuatan yang dapat merealisasikan maksud-maksud syariat tersebut. Imam al-Ghazali sebagaiman halnya imam as-Syafi’i bahkan telah mengingatkan: “barangsiapa yang telah membuat-buat maslahat maka ia telah membuat syariat.[17]“

Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa Islam moderat merupakan pemahaman Islam yang tidak dikenal dalam Islam. Pemikiran justtu berkembang pasca diruntuhkannya negara Khilafah yang mendapat sokongan dari negara-engara barat.

Tujuannya tidak lain agar nilai-nilai dan praktek Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kaum muslim dan diganti dengan pemikiran dan budaya barat. Dengan demikian penjajahan atas kaum muslim dapat tetap langgeng. Wallahu a’lam bis-shawab[]

[1] Lieutenant Colonel Carmia L. Salcedo, Moderate Moslem: Myth or Reality? U.S. Army War College, 2007.

[2] Muhammad Husain Abdullah, Mafâhim Islâmiyyah, vol.2, 18 (Beirut: Darul Ummah, 1996)

[3] Lawrence Auster, The Search for Moderate Islam, January 28, 2005. www.frontpagemag.com

[4] John L. Esposito & Dalia Mogahed, What makes a Muslim radical? Source: Foreign Policy, November 2006, www.foreignpolicy.com

[5] Lihat Danel Pipes, Finding Moderate Muslims - More Questions. www.danielpipes.org.

[6] Lawrence Auster, The Search for Moderate Islam, January 28, 2005. www.frontpagemag.com

[7] John L. Esposito & Dalia Mogahed, What makes a Muslim radical? www.foreignpolicy.com

[8] Lawrence Auster, Ibid.

[9] Cheryl Benard, Civil Democratic Islam, hlm. xi. (USA: Rand Corporation, 2005)

[10] Steven A. Cook, The Myth of Moderate Islam. www.foreignpolicy.com

[11] Abdul Qadim Zallum, Mafâhim Khathirah li Dharbi al-Islâm (ttp: Hizbut Tahrir, 1998), 14

[12] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 8

[13] al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’ wîl, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87

[14] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 237

[15] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-’Adzhim, vol. 6, 123. al-Maktabah asy-Syamilah

[16] Mahmud Abdul Karim Hasan, al-Mashalih al-Mursalah, (Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, 1995), 37

[17] al-Ghazaly, Al-Musthashfa, v.I, 245 dikutip dari Mahmud Abdul Karim Hasan, Ibid, 65

7 comments:

akak said...

Utk masa yg agak terbatas ini, ini saja yang mampu saya tulis sebagai berkongsi dgn tulisan di atas ini.Mudah-mudahan ia mententeramkan hati saya utk menikmati manisnya minuman sekitar tea break yg sebentar ini. Kebetulan pula saya sedang membaca sesuatu di meja saya ini.

Saya tidaklah menolak kesemuanya pandangan di atas dan tidaklah mampu menerima kesemuanya. Saya kira penulisnya sangatlah idealis, namun dia tidak realis...

' idealis beragama dlm konteks yg syamil dan kamil tidaklah salah sebenarnya. Tetapi jika alpa utk tahu dan faham dgn faktor waqi' atau realiti adalah menjadi suatu kesilapan besar. Seseorang yang idealis semestinya juga seorang yg realis. Memahami realiti (waqi') yg didukung oleh idealisme bersifat fitrah dan tak bersalahan dgn kehendak agama yg murni boleh mengukuhkan pendekatan dan strategi utk mencari kebijaksanaan dalam memahami dan mendekati 'permasalahan' yg wujud. Saya pandangan bahawa seseorang yang realis perlukan 'idealisme '...kerana idealisme memberikan pedoman dan arah kpd manusia agar berpijak dibumi nyata...

zaman dan waqi' juga suatu cabaran bagi kita...mana mungkin kita mampu aplikasikan semua pengalaman lampau dlm penyelesaian kita....jesteru Allah tidak menyediakan kita cabaran yang sama bentuknya dgn datuk nenek kita. Jesteru pintu ijtihadi tidak pernah di tutup utk kita manfaatkannya...

Tufail said...

masih lagi komen yg belum memahami bagaimana pandangan terhadap realiti(waqi') dalam Islam.
realiti adalah manath, objek hukum. lalu dari sudut mana yang dikatakan penulisan tersebut sekadar idealis...sila quotekan.

WUZARA said...

Salam Tufail,

Jika ada masa tolong jawabkan.

akak said...

nampaknya anda emosi Tufail...

anda boleh jelaskan apa ingin anda fahamkan kpd saya.

saya sedia membacanya.

WUZARA said...

Salam...

Akak... saya tengok Tufail quite steady je. Akar permasalahan di sini adalah, kami berpandangan hukum Islam tidak tidak berubah dengan zaman dan tempat tetapi ia berubah dengan perubahan realiti. Jika realiti berubah, maka hukum oun berubah.

Sedangkan seperti mana yang akak tulis, hukum berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Maka seterusnya akak berpandangan, hukum itu berubah dalam rangka menunaikan maqasid syariah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Riba' misalnya, ia dibenarkan bukan untuk mengubah hukum tetapi agar tercapai maqasid syariah dalam kehidupan tidak Islami hari ini. Itu yang saya faham pandangan akak.

Sedangkan bagi saya, hukum tidak berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Maqasid syariah tercapai dengan mengamalkan hukum, bukan sebaliknya mengubah hukum untuk mencapai maqasid syariah.

Just my2cent...

akak said...

anda tlg contohkan kpd saya, terutama utk penerangan perenggan paling akhir.

tq

WUZARA said...

Buat masa ini, saya cadangkan agar akak baca dan fahami artikel di link dibawah.

http://mykhilafah.com/sautun_nahdhah/SN130_Adakah_Hukum_Berubah_Mengikut_Zaman.pdf