Saturday, November 1, 2008

Mengatur Interaksi Antara Lelaki dan Wanita Menurut Syariah

Artikel ini saya edit dari halaman rasmi Hizbut Tahrir Indonesia, http://www.hizbut-tahrir.or.id/ . Saya kira ia sangat bermanfaat untuk kita jadikan sedikit panduan dalam mengatur interaksi kita sesama lelaki dan wanita.

Kitab ini adalah salah satu dari kitab mutabanat yang dihalaqahkan secara talaki dalan tatsqif Hizbut Tahrir. Kepada sesiapa yang berminat, silalah hadir ke halaqah-halaqah yang diaturkan oleh Hizbut Tahrir.

Semoga kita dapat hidup di dunia, mengharungi gelora hidup yang penuh ranjau ini dalam batas yang telah ditetapkan pencipta kita, Allah swt. Amin


------------------------------------------------------------



Telaah ini bertujuan menerangkan pengaturan interaksi lelaki dan wanita dalam kehidupan umum menurut syariah Islam, sebagaimana diterangkan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm (2003), khususnya halaman 25-30 pada bab “Tanzhîm ash-Shilât bayna al-Mar’ah wa ar-Rajul (Pengaturan Interaksi Wanita dan Lelaki).
Pengaturan tersebut sebenarnya bukan persoalan yang mudah. Sebab, menurut An-Nabhani, pengaturan yang ada hendaknya mengambilkira dua faktor: Pertama, bahawa potensi hasrat seksual pada lelaki dan wanita dapat bangkit jika keduanya berinteraksi; misalnya ketika bertemu di jalan, pejabat, sekolah, pasar, dan lain-lain. Kedua, bahwa lelaki dan wanita harus saling tolong-menolong (ta’âwun) demi kemaslahatan masyarakat, misalnya di bidang perdagangan, pendidikan, pertanian, dan sebagainya. (h. 25-26).
Bagaimana mempertemukan dua faktor tersebut? Memang tidak mudah. Dengan maksud agar hasrat seksual tidak bangkit, boleh jadi muncul pandangan bahwa lelaki dan wanita harus dipisahkan secara total, tanpa peluang berinteraksi sedikit pun. Namun, jika demikian, tolong-menolong di antara keduanya terpaksa dikorbankan alias tidak terwujud. Sebaliknya, dengan maksud agar lelaki dan wanita dapat tolong menolong secara optimal, boleh jadi interaksi di antara keduanya dilonggarkan tanpa mengenal batasan. Namun, dengan begitu akibatnya adalah bangkitnya hasrat seksual secara liar, seperti pelecehan seksual terhadap wanita, sehingga malah menghilangkan kehormatan (al-fadhîlah) dan moral (akhlâq).
Hanya syariah Islam, tegas An-Nabhani, yang dapat mengkompromikan dua realiti yang seakan saling bertentangan itu dengan pengaturan yang canggih dan berhasil. Di satu sisi syariah mencegah potensi bangkitnya hasrat seksual ketika lelaki dan wanita berinteraksi. Jadi, lelaki dan wanita tidaklah dipisahkan secara total, melainkan dibolehkan berinteraksi dalam koridor yang dibenarkan syariah. Di sisi lain, syariah menjaga dengan hati-hati agar tolong-menolong antara lelaki dan wanita tetap berjalan demi kemaslahatan masyarakat.

Pengaturan Syariah
An-Nabhani kemudian menerangkan beberapa hukum syariah untuk mengatur interaksi lelaki dan wanita. Hukum-hukum ini dipilih berdasarkan prinsip bahawa meski lelaki dan wanita dibolehkan beriteraksi untuk tolong-menolong, interaksi itu wajib diatur sedemikian rupa agar tidak membangkitkan hasrat seksual, yakni tetap menjaga kehormatan (al-fadhîlah) dan moral (akhlâq). (h. 27). Di antara hukum-hukum itu adalah:

a) Perintah menundukkan pandangan (ghadhdh al-bashar).
Lelaki dan wanita diperintahkan Allah Swt. untuk ghadhdh al-bashar (QS an-Nur [24]: 30-31). Yang dimaksud ghadhdh al-bashar menurut An-Nabhani adalah menundukkan pandangan dari apa saja yang haram dilihat dan membatasi pada apa saja yang dihalalkan untuk dilihat (h. 41). Pandangan mata adalah jalan masuknya syahwat dan bangkitnya hasrat seksual, sesuai sabda Nabi saw. dalam satu hadis Qudsi:
اَلنَّظْرَةُ سَهْمٌ مِنْ سَهَامِ إِبْلِيْس مَنْ تَرَكَهَا مِنْ مِخِافِتِي أَبْدَلْتُهُ إِيْمَاناً يَجِدُ حَلاَوَتَهُ فِي قَلْبِهِ
Pandangan mata [pada yang haram] adalah satu anak panah di antara berbagai anak panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, Aku akan menggantikan pandangan itu dengan keimanan yang akan dia rasakan manisnya dalam hatinya.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/349; Al-Baihaqi, Majma’ az-Zawâ’id, 8/63). (Abdul Ghani, 2004).
b)Perintah kepada wanita mengenakan jilbab(jubah) dan tudung.
Menurut An-Nabhani, busana wanita ada dua: jilbab (QS al-Ahzab [33]: 59) dan tudung (khimar) (QS an-Nur [24]: 31). Jilbab bukan tudung, sebagaimana yang disalahfahami kebanyakan orang, tetapi baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah, yang dipakai di atas baju lapisan dalam (h. 44, 61). Tudung (khimar) adalah apa saja yang digunakan untuk menutupi kepala (h. 44).
Penjelasan An-Nabhani mengenai erti jilbab ini sejalan dengan beberapa kamus, antara lain dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’:
ثَوْبٌ وَاسِعٌ تَلْبَسُهُ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثِيَابِهَا
[Jilbab adalah] baju longgar yang dipakai wanita di atas baju (rumah)-nya (Qal’ah Jie & Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, hlm. 124; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wâsith, 1/128).
c)Larangan atas wanita bermusafir selama sehari-semalam, kecuali disertai dengan mahram-nya.
Tidak halal bagi seorang wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir untuk melakukan perjalanan selama sehari-semalam, kecuali disertai dengan mahram-nya (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban).

d)Larangan ber-khalwat antara lelaki dan wanita, kecuali wanita itu disertai dengan mahram-nya.
Khalwat ertinya adalah bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtimâ’ bayna itsnayni ‘ala infirâd) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat (h. 97); misalnya di rumah atau di tempat sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. Khalwat diharamkan berdasarkan hadis Nabi saw.:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بَاِمْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذَيْ مَحْرَمٍ
Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai dengan mahram-nya (HR al-Bukhari dan Muslim).

e) Larangan atas wanita untuk keluar rumah, kecuali dengan seizin suaminya.
Wanita (isteri) haram keluar rumah tanpa izin suaminya, karena suaminya mempunyai hak-hak atas iserinya itu. An-Nabhani menukilkan riwayat Ibnu Baththah dari kitab Ahkâm an-Nisâ’. Disebutkan bahwa ada seorang wanita yang suaminya bepergian. Ketika ayah wanita itu sakit, wanita itu meminta izin kepada Nabi saw. untuk menjenguknya. Nabi saw. tidak mengizinkan. Ketika ayah wanita itu meninggal, wanita itu meminta lagi izin kepada Nabi saw. untuk menghadiri penguburan jenazahnya. Nabi saw. tetap tidak mengizinkan. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi saw.:
إِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهَا بَطَاعَةِ زَوْجِهَا
Sesungguhnya Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatannya kepada suaminya (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm, h. 29).
f) Perintah pemisahan (infishâl) antara lelaki dan wanita.
Perintah ini berlaku untuk kehidupan umum seperti di masjid dan sekolah, juga dalam kehidupan khusus seperti rumah. Islam telah memerintahkan wanita tidak berdesak-desakan dengan lelaki di jalan atau di pasar (h. 29). (Al-Jauziyah, 1996).
Interaksi antara lelaki dan wanita hendaknya merupakan interaksi umum, bukan interaksi khusus.
Interaksi khusus yang tidak dibolehkan ini misalnya saling mengunjungi antara lelaki dan wanita yang bukan mahram-nya (seperti dating dan couple), atau lelaki dan wanita pergi bertemasya bersama. (h. 30).

Syariah: Ubat Mujarab bagi Penyakit Sosial
Beberapa hukum syariah yang disebutkan An-Nabhani di atas sesungguhnya merupakan ubat bagi penyakit sosial saat ini, yaitu interaksi atau pergaulan antara lelaki dan wanita yang rusak, yakni telah keluar dari ketentuan syariah Islam. Penyakit sosial ini tak hanya ada di masyarakat Barat (AS dan Eropah), tetapi juga di masyarakat Dunia Islam yang bertaklid kepada Barat. Penyakit masyarakat ini misalnya gangguan seksual, seks bebas, perkosaan, hamil di luar nikah, pengguran bayi, penyakit seksual (AIDS dll), pelacuran, homoseksualisme, lesbianisme, perdagangan wanita, dan sebagainya. (Thabib, 2003: 401-dst).
Sayang, kenyataan pahit itu tak hanya terjadi di Barat, tetapi juga di Dunia Islam, termasuk Malaysia. Malaysia yang sekular juga tidak menjadikan syariah untuk mengatur mengatur interaksi/pergaulan lelaki dan wanita. Akibatnya pun sama dengan yang ada di masyarakat Barat, yaitu timbulnya penyakit sosial yang kronik yang sulit disembuhkan. Data-data menunjukkan, penyakit sosial yang parah juga melanda masyarakat kita, yang telah mengekor pada masyarakat Barat yang rosak dan tak bermoral. Sungguh, tidak ada ubat yang mujarab untuk penyakit itu, kecuali syariah Islam, bukan yang lain.
Di sinilah letak strategisnya gagasan An-Nabhani di atas, iaitu menjadi ubat atau penyelesaian terhadap penyakit sosial yang kronik dengan cara mengatur kembali interaksi lelaki dan wanita secara benar dengan syariah Islam. Hanya dengan syariah Islam, interaksi lelaki dan wanita dapat diatur secara sehat dan berkesan, iaitu tanpa membangkitkan hasrat seksual secara haram, namun tetap dapat mewujudkan tolong-menolong di antara kedua lawan jenis untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Wallâhu a’lam. []

Daftar Pustaka
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-’Adalah al-Ijtimâ’iyah fî Dhaw` al-Fikri al-Islâmi al-Mu’ashir, (T.Tp. : T.p), 2004.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Quran dan As-Sunnah (Jilbâb al-Mar’ah al-Muslimah fî al-Kitâb wa as-Sunnah), Penerjemah Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf, (At-Tibyan: Solo), 2001.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, (Makkah: Al-Maktabah at-Tijariyah), 1996.
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Malapetaka Akibat Hancurnya Khilâfah, (Bogor: al-Azhar Press), 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Beirut: Darul Ummah), 2003.
Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam al-Wâsith, (Kairo: Darul Ma’arif), 1972.
Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah al-Gharbiyah, 2003.
Qal’ah Jie, Rawwas, & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ

No comments: