Meninggalkan Sikap Riya
Adapun ikhlas dalam ketaatan adalah meninggalkan sikap riya. Ikhlas termasuk amal hati yang tidak bisa diketahui kecuali oleh seorang hamba dan Tuhannya.
Terkadang urusan ikhlas ini samar dan tercampur baur bagi seorang hamba hingga ia meneliti lebih lanjut dan bertanya-tanya pada dirinya, dan berulang-ulang berpikir kenapa ia melaksanakan ketaatan itu atau kenapa ia melibatkan dirinya dalam ketaatan.
Jika ia menemukan bahwa dirinya melaksanakan ketaatan itu semata-mata karena Allah, maka berarti ia telah menjadi orang yang ikhlas. Jika ia menemukan dirinya ternyata melaksanakan ketaatan karena tujuan duniawi tertentu, maka berarti ia telah menjadi orang yang riya. Nafsiyah (pola sikap) seperti ini membutuhkan penanganan secara serius, yang bisa jadi membutuhkan waktu yang lama.
Tanda-tanda Ikhlas : Menyembunyikan Kebaikan Diri
Jika seseorang telah sampai pada martabat, dimana ia lebih suka menyembunyikan segala kebaikannya, maka hal itu menandakan dirinya telah ikhlas.
Al-Quthubi berkata: Al-Hasan pernah ditanya tentang ikhlas dan riya, kemudian ia berkata: Di antara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu.
Abu Yusuf berkata dalam buku Al-Kharaj: Mas’ar telah memberitahukan kepadaku dari Saad bin Ibrahim, ia berkata: Mereka (para sahabat) mengampiri seorang laki-laki pada perang Al-Qadisiyah. Laki-laki itu tangan dan kakinya terputus, ia sedang memeriksa pasukan seraya membacakan firman Allah:
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (TQS. An-Nasa [4]: 69)
Seseorang berkata kepada laki-laki itu: Siapa engkau wahai hamba Allah? Ia berkata: Aku adalah seseorang dari kaum Anshar. Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya.
Dalil Al Qur’an Wajibnya Ikhlas
Ikhlas hukumnya wajib. Dalilnya sangat banyak, baik dari Al-Kitab maupun As-Sunah.
Allah Swt. berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. (TQS. Az-Zumar [39]: 2)
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik) (TQS. Az-Zumar [39]: 3)قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (TQS. Az-Zumar [39]: 11)
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي
Katakanlah: “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. (TQS. Az-Zumar [39]: 14)
Ayat-ayat di atas merupakan seruan kepada Rasulullah saw., hanyasaja sudah dimaklumi bahwa seruan kepada Rasulullah saw. adalah juga seruan kepada umatnya.
Dalil As Sunnah Wajibnya Ikhlas
Adapun dalil wajibnya ikhlas dari As-Sunah adalah :
Hadits dari Abdullah bin Mas’ud riwayat At-Tirmidzi dan As-Syafi’i dalam Ar-Risalah dari Nabi saw., beliau bersabda:
«نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ»
Allah akan menerangi orang yang mendengar perkataaku, kemudian ia menyadarinya, menjaganya, dan menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa pengetahuan kepada orang yang lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati seorang muslim tidak dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasihati para pemimipin kaum Muslim, dan senantiasa ada dalam jama’ah al-muslimin. Karena dakwah akan menyelimuti dari belakang mereka.
Hadist dari Ubay bin Kaab ra. riwayat Ahmad, ia berkata dalam Al-Mukhtarah isnadnya hasan. Rasulullah saw. bersabda:
«بَشِّرْ هَذِهِ اْلأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فِي اْلأَرْضِ فَمَنْ عَمِلَ عَمَلَ اْلآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ نَصِيبٌ»
Berikanlah kabar gembira kepada umat ini dengan kemegahan, keluhuran, pertolongan, dan keteguhan di muka bumi. Siapa saja dari umat ini yang melaksanakan amal akhirat untuk dunianya, maka kelak di akhirat ia tidak akan mendapatkan bagian apapun.
Hadits dari Anas riwayat Ibnu Majah dan Al-Hakim, ia berkata hadits ini shahih memenuhi syarat Bukhari Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى اْلإِخْلَاصِ ِللهِ وَحْدَهُ وَعِبَادَتِهِ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللهُ عَنْهُ رَاضٍ»
Barang siapa yang meninggalkan dunia ini (wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah Swt. saja, ia tidak menyekutukan Allah sedikitpun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka ia telah meninggalkan dunia ini dengan membawa ridha Allah.
Hadits dari Abi Umamah Al-Bahili riwayat An-Nasai dan Abu Daud, Rasulullah saw. bersabda:
«إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan dilakukakan karena mengharap ridha Allah semata. Al-Mundziri berkata isnadnya shahih.
(Sumber: Buku Hizbut Tahrir, Min Muqowwimat an Nafsiyah al Islamiyah)
Monday, December 22, 2008
Friday, December 19, 2008
Penswastaan IJN: Satu Usaha Menzalimi Rakyat
Kerajaan Malaysia terus menzalimi rakyat dan menentang hukum Islam. Satu lagi usaha untuk menswastakan perkhidmatan kesihatan kali ini Institut Jantung Negara. Pastinya yang mendapat keuntungan adalah para pemimpin tertinggi dan konglomerat.
Biaya perubatan penyakit jantung adalah sangat besar. Jarang sekali rakyat marhaein yang dapat menampung biaya perubatan penyakit ini hatta golongan pertengahan sekalipun. Ia menjadi kewajipan pemerintah untuk menyediakan kemudahan kesihatan kepada rakyatnya, bukan menjadikannya industri komersil.
Kerajaan kufur ini jelas terus menzalimi rakyat. Ia perlu dikuburkan bersama-sama dengan ideologi kapitalisme yang diterapkannya. Hanya dengan tegakknya khilafah Islamiah keadilan dan kesejahteraan sebenar dapat dikecapi dengan penerapan hukum Islam secara kaffar.
Kerajaan Mahu Jaminan Sime Darby Tawar Perubatan Pada Golongan Berpendapatan Rendah, kata PM
KUALA LUMPUR, 18 Dis (Bernama) -- Kerajaan mahu jaminan daripada Sime Darby Bhd, yang berminat membeli kepentingan dalam IJN Holdings Sdn Bhd, supaya meneruskan khidmat pusat perubatan jantung terkenal itu kepada golongan berpendapatan rendah, kata Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi.
"Sekiranya jaminan itu dapat diberikan oleh pihak yang nak mengambil alih, maka mungkin pandangan kita terhadap pengambilalihan ini tidak begitu keras sangat. Ini juga bergantung kepada banyak syarat-syarat lain," katanya kepada pemberita di Parlimen, hari ini.
Katanya terdapat beberapa pihak yang tidak bersetuju terhadap cadangan Sime Darby untuk membeli kepentingan dalam IJN, yang dimiliki 99.99 peratus oleh Kementerian Kewangan.
"Andaian mereka sekiranya pusat itu dijadikan milik swasta, bayaran perubatan akan menjadi lebih tinggi dan tidak akan dapat dinikmati oleh golongan tersebut," katanya.
Sime Darby dilaporkan telah mengemukakan cadangan kepada kerajaan untuk memperoleh pegangan dalam syarikat yang mengendalikan Institut Jantung Negara itu yang kini merupakan pusat perubatan jantung utama di rantau ini.
Abdullah berkata walaupun IJN kini merupakan pusat perubatan terkenal di rantau ini, golongan miskin masih boleh menikmati rawatan pakar dengan bayaran berpatutan.
"Ramai yang suka IJN kerana IJN dianggap sebagai pusat perubatan yang sangat baik dan terkenal. Terbaik di rantau ini dan dikenali di seluruh dunia. Jadi, rakyat biasapun mahu menikmati rawatan daripada pakar-pakar tersebut," katanya.
Beliau berkata bidang perubatan memerlukan kos yang agak besar kerana sentiasa memerlukan peralatan canggih, ubat-ubatan serta pakar-pakar perubatan terbaik.
"Ini bergantung kepada siapa yang memilikinya. Banyak kos yang diperlukan untuk terus menambah kekuatan dan keupayaan, seperti penambahan bilangan katil untuk pesakit dan menambah bilangan dewan bedah. Ini akan menelan belanja yang besar," katanya.
Abdullah berkata memang ada kebaikan sebaliknya jika ada pihak swasta yang dekat dengan kerajaan seperti Sime Darby, yang merupakan syarikat berkaitan kerajaan (GLC), yang ingin membantu.
Ketika ditanya sama ada kerajaan tidak lagi dapat menanggung kos IJN, Abdullah berkata kerajaan masih boleh menanggung kos tersebut.
"Bukan tidak boleh tanggung, kalau kita tanggung, kita tanggunglah."
"Ia membabitan persoalan mengenai membuat perbandingan, sama ada kalau boleh lagi diperbesarkan, ada orang yang nak menanggungnya dan dia pastikan dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang kita harapkan, apa salahnya. Kerajaan pula boleh buat hospital lain di tempat lain," kata Abdullah.
Sime Darby dilaporkan membayar harga premium melebihi penilaian hospital biasa sebanyak 16 kali nisbah harga kepada pendapatan (PE) memandangkan IJN merupakan pusat pakar jantung terkenal di rantau ini.
Sehingga kini, Sime Darby masih belum mengesahkan jumlah kepentingan yang ingin dibeli dalam IJN.
Thursday, December 18, 2008
Jangan Lalai! Jangan Lalai! Sekali Lagi Jangan Lalai!
Allah Swt. berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (TQS. Ali Imran [3]: 133) إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ #وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang untung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (TQS. An Nuur [4]: 51-52)
Di bawah bayangan ayat-ayat seperti di ataslah mereka yang baik dari kalangan umat yang terbaik ini bertindak-balas dengan realiti yang ada disekeliling mereka. Mereka sering tidak melepaskan segala peluang yang memiliki potensi yang dapat menghantar mereka kepada keredhaan Allah. Mereka sentiasa mengutamakan kemaslahatan Agama Allah mengatasi dari kemaslahatan mereka sendiri.
Wahai Para Pejuang Islam yang dimuliakan,
Sebagaimana yang kita semua sedia maklum dakwah untuk mempersatukan kaum muslim adalah wajib.
Allah Swt. Berfirman,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعً۬ا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً۬ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦۤ إِخۡوَٲنً۬ا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ۬ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡہَاۗ كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ (١٠٣)
Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah (ugama Islam), dan janganlah kamu bercerai-berai; dan kenanglah nikmat Allah kepada kamu ketika kamu bermusuh-musuhan (semasa jahiliyah dahulu), lalu Allah menyatukan di antara hati kamu (sehingga kamu bersatu-padu dengan nikmat Islam), maka menjadilah kamu dengan nikmat Allah itu orang-orang Islam yang bersaudara. Dan kamu dahulu telah berada di tepi jurang neraka (disebabkan kekufuran kamu semasa jahiliyah), lalu Allah selamatkan kamu dari neraka itu (disebabkan nikmat Islam juga). Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat keteranganNya, supaya kamu mendapat petunjuk hidayahNya. (TQS. Ali Imran [3]: 103)
Kita semua juga telah sedia maklum method yang wajib kita tempoh dalam mempersatukan kaum muslimin adalah dengan mengembalikan semula Khilafah ala minhaj an nubuwah melalui dakwah dan perjuangan politik tanpa kekerasan.
Dalam merealisasikan idealisma ini kita memerlukan sebuah jemaah ideologis yang akan berjuang secara intelektual dan politik di tengah-tengah masyarakat. Urgensi adanya jemaah ini disetiap zaman tidak dapat kita nafikan secara rasional mahupun syara’.
Allah Swt berfirman,
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (١٠٤)
Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji) dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya. (TQS Al-E-Imran (3):104)
Oleh itu,
Wahai para Pejuang Islam yang mulia,
Jemaah seperti yang diilustrasikan oleh ayat itu telah hadir di hadapan kamu! Ia telah diusahakan oleh seorang mujtahid, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani rahimahullah, untuk dihadirkan di sebuah tempat yang telah ditentukan oleh Pencipta kamu sebagai salah satu tanah suci bagi kamu, iaitu al Quds, lebih 50 tahun dahulu. Alhamdulillah, marilah bersumpah dengan Asma’Nya untuk bersama-sama jemaah ini dalam mengharungi gelora dakwah dan perjuangan politik. Agar Agama Allah ini dapat dizahirkan di atas segala agama dan ideologi yang ada. Semoga kamu di rahmati dan memperolehi ganjaran yang dipenuhi oleh kenikmatan di hari kiamat kelak. Hari dimana tiada gunanya harta, pangkat dan anak-anak.
Adalah sungguh ironi, setelah akal kita akur dan tunduk dengan kebenaran fikrah yang sebahgiannya telah kita jadikan akidah dan sebahagian lagi sebagai peraturan yang seharusnya kita ikuti dan perjuangkan di tengah-tengah masyarakat agar ianya wujud dalam kehidupan, tapi mengapakah masih ada lagi diantara kita yang lalai untuk mejadikannya sebagai Qaedah Fikriyah yang menjadi standard kepada perbuatan dan Qiyadah Fikriyah yang menjadi obor dalam perjuangan politik kita?
Ketahuilah!
Wahai Kaum Muslimimin yang mulia,
Hadirnya jemaah ini adalah untuk membantu kita semua untuk bergerak secara terpimpin agar roh jemaah kelihatan dalam aktiviti dakwah dan politik. Selain itu, ketahuilah hadirnya jemaah ini adalah untuk membuka peluang kepada kita untuk memperolehi ganjaran pahala sebagaimana yang telah Allah SWT kurniakan kepada generasi awal Islam. Generasi yang Allah redha kepada mereka dan mereka redha kepada Allah. Pada zaman itu mereka telah bergelumang dengan dakwah dan perjuangan politik yang penuh dengan tribulasi dengan hanya bersandarkan kepada kekuatan fikriyah tanpa dokongan material dari sebuah Negara. Ia persis seperti zaman ini, zaman dimana kita semua sedang menghirup udaranya.
Pergorbanan dan ketundukan mereka telah digambarkan dalam firman Allah SWT;
رَبِّ هَبۡ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (١٠٠)فَبَشَّرۡنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍ۬ (١٠١)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ (١٠٢)فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُ ۥ لِلۡجَبِينِ (١٠٣)وَنَـٰدَيۡنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبۡرَٲهِيمُ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٠٥)
Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku anak yang terhitung dari orang-orang yang soleh! (100) Lalu Kami berikan kepadanya berita yang menggembirakan, bahawa dia akan beroleh seorang anak yang penyabar. (101) Maka ketika anaknya itu sampai (ke peringkat umur yang membolehkan dia) berusaha bersama-sama dengannya, Nabi Ibrahim berkata: Wahai anak kesayanganku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku akan menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu?. Anaknya menjawab: Wahai ayah, jalankanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah, ayah akan mendapati daku dari orang-orang yang sabar. (102) Setelah keduanya berserah bulat-bulat (menjunjung perintah Allah itu) dan Nabi Ibrahim merebahkan anaknya dengan meletakkan iringan mukanya di atas tompok tanah, (Kami sifatkan Ibrahim dengan kesungguhan azamnya itu telah menjalankan perintah Kami). (103) Serta Kami menyerunya: Wahai Ibrahim! (104) Engkau telah menyempurnakan maksud mimpi yang engkau lihat itu. Demikianlah sebenarnya Kami membalas orang-orang yang berusaha mengerjakan kebaikan. (105) (TQS As Saafaat (37): 100-105)
Tidakkah ini peristiwa ini menjadi motivasi spiritual untuk berkorban, walaupun dalam kadar yang sedikit, untuk memertabatkan kedaulatan Islam dan kemulian kaum muslimin?
Sehubung dengan kelebihan 10 hari di awal Zulhijjah Allah SWT berfirman;
وَٱلۡفَجۡرِ (١) وَلَيَالٍ عَشۡرٍ۬ (٢)
Demi waktu fajar; (1) Dan malam yang sepuluh (yang mempunyai kelebihan di sisi Allah); (2) (TQS Al Fajr (89): 1-2)
Di dalam ayat di atas Allah SWT telah bersumpah dengan hari-hari ini yang menjadi petunjuk kepada kita tentang kepentingan dan kelebihan hari-hari tersebut. Ibn Abbas, Ibn Az-Zubayr, Mujahid dan lain-lain dari generasi awal dan sekarang berpendapat hari-hari tersebut adalah 10 hari pertama dari bulan Zulhijjah. Pada hari inilah program yang saya sebutkan di atas diadakan.
Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda: “Tidak ada satu hari yang mana amal soleh lebih dicintai Allah dari 10 hari ini.” Orang ramai bertanya, “Walaupun berjihad di jalan Allah?” Baginda bersabda, “Walaupun jihad pada jalan Allah, kecuali dalam keadaan seorang lelaki pergi kepada jihad, memberikan dirinya dan hartanya pada perkara itu, dan kembali tanpa membawa sesuatu apapun.” [Al-Bukhari]
Sesungguhnya lalai bukanlah alasan bagi kita untuk mengelak dari kemurkaan Allah SWT dan lari dari tanggungjawab sebagai para hamlid dakwah. Sebab telah diutuskan kepada kita Rasulullah yang membawa al Quran dan menunjukkan suri tauladan sebagai pedoman. Allah SWT berfirman;
Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam (turun-temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan Ia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (sambil Ia bertanya dengan firmanNya): "Bukankah Aku tuhan kamu?" Mereka semua menjawab: "Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi". Yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak: "Sesungguhnya kami adalah lalai (tidak diberi peringatan) tentang (hakikat tauhid) ini. (Al A’raaf 172)
Tidak lalai dan leka dengan kegemerlapan dunia merupakan jatidiri kita. Sesungguhnya Allah SWT telah mencela orang-orang yang lalai dalam banyak firmaNya, antaranya;
Dan sebutlah serta ingatlah akan Tuhanmu dalam hatimu, dengan merendah diri serta dengan perasaan takut (melanggar perintahnya), dan dengan tidak pula menyaringkan suara, pada waktu pagi dan petang dan janganlah engkau menjadi dari orang-orang yang lalai. (TQS al A’raaf : 205)
"Maka pada hari ini, Kami biarkan engkau (hai Firaun) terlepas dengan badanmu (yang tidak bernyawa, daripada ditelan laut), untuk menjadi tanda bagi orang-orang yang di belakangmu (supaya mereka mengambil itibar). Dan (ingatlah) sesungguhnya kebanyakan manusia lalai daripada (memerhati dan memikirkan) tanda-tanda kekuasaan Kami!". (TQS Yunus : 92)
(Serta dikatakan kepadanya): "Demi sesungguhnya! Engkau di dunia dahulu berada dalam keadaan lalai tentang (perkara hari) ini, maka kami hapuskan kelalaian yang menyelubungimu itu, lalu pandanganmu pada hari ini menjadi tajam (dapat menyaksikan dengan jelasnya perkara-perkara hari akhirat)". (TQS Qaff : 22)
Oleh itu, Wahai Para Pejuang yang dimuliakan,
Jauhilah sikap lalai ini, jadikan diri kita sebagai mereka yang tahu membezakan perkara yang perlu diutamakan dan perkara yang perlu diremehkan. Sebagaimana pribadi-pribadi unggul yang pernah dilahirkan oleh Umat ini.
Abdullah bin al Mubarak membuat perbandingan antara orang yang sibuk beribadah dengan orang yang sibuk berjihad fi sabilillah dalam syairnya;
“Wahai hamba yang selalu beribadah di dua tanah haram. Andai kamu mahu melihat kami, maka kamu mengetahui bahawa sesugguhnya kamu bermai-main dengan ibadah kamu.
(Kamu) adalah orang yang pipinya dihiasi dengan airmata sedangkan kami adalah orang yang lehernya dihiasi oleh darah.
Atau (kamu ini adalah) orang yang melelahkan dirinya dalam kebatilan sedangkan kami adalah orang yang membuat kuda-kuda kami lelah dalam peperangan.
Wagian selalu menyertaimu. Dan kami punya wangian yang tersendiri. (Pewangi kami adalah) debu akibat hentakan kaki kuda, dan (menurutku) debu itu lebih wangi apabila dibanding yang lainnya.
Kita telah mendengar sabda baginda Rasulullah saw. Sabda yang selalu benar dan tidak pernah dusta.
Debu kuda yang berada di di hidung seorang yang ikut perang fi sabilillah tidak akan bertemu dengan asap api neraka yang menyala-nyala.
Bergitu juga dalam al Quran disebutkan orang yang syahid sebenarnya tidak mati. (Kandungan al Quran) tidak akan bohong.”
Ketahuilah bahawa setiap amal kebaikan yang kita lakukan sebenarnya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Allh berfirman;
وَمَن جَـٰهَدَ فَإِنَّمَا يُجَـٰهِدُ لِنَفۡسِهِۦۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِىٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٦)
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَنُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّـَٔاتِهِمۡ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَحۡسَنَ ٱلَّذِى كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (٧)
Dan sesiapa yang berjuang (menegakkan Islam) maka sesungguhnya dia hanyalah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri; sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak berhajatkan sesuatupun) daripada sekalian makhluk. (6) Dan orang-orang yang beriman serta beramal soleh sesungguhnya Kami akan hapuskan dari mereka kesalahan-kesalahan mereka dan Kami akan membalas apa yang mereka telah kerjakan dengan sebaik-baik balasan. (7) (TQS Al Ankabut (29) : 6-7)
Tuesday, December 16, 2008
As economy worsens, churches fill up in U.S.
Saya tersengeh(bukan gembira) bila baca berita ini, orang2 Kristian di US mula membanjiri gereja-gereja lantaran desakan hidup akibat Krisis ekonomi yang melanda. Lebih lagi ia berlaku di kawasan-kawasan mewah. Malah ada yang mengatakan tidak pernah setenang ini.
Apa yang berlaku ini adalah contoh manifestasi gharizatul tadayyun (yang saya dah ceritakan dalam posting sebelum ini). Adalah perkara yang lumrah, gharizatul tadayyun manusia akan naik apabila gharizatul baqa’nya tertekan. Senang kata, bila dah susah baru nak ingat tuhan. Naluri pada dasarnya mampu terpenuh walaupun dipenuhi dengan jalan yang salah. Tetapi ketenangan hakiki hanya penyembahan kepada Allah swt.
Saudara-saudara2 bacalah ye…
International Herald Tribune
By Paul Vitello
Published: December 14, 2008
The sudden crush of worshipers packing the small evangelical Shelter Rock Church in Manhasset, New York - a Long Island town of yacht clubs and hedge fund managers - forced the pastor to set up an overflow room with closed-circuit TV and 100 folding chairs, which have been filled for six consecutive Sundays.
In Seattle, the Mars Hill Church, one of the fastest-growing evangelical churches in the country, grew to 7,000 members this fall, up 1,000 in a year. At the Life Christian Church in West Orange, New Jersey, prayer requests have doubled - almost all of them aimed at getting or keeping jobs.
Like evangelical churches around the United States, the three churches have enjoyed steady growth over the past decade. But since September, pastors nationwide say they have seen such a burst of new interest that they find themselves contending with powerful conflicting emotions - deep empathy and quiet excitement - as they re-encounter an old piece of religious lore:
Bad times are good for evangelical churches.
"It's a wonderful time, a great evangelistic opportunity for us," said the Reverend A.R. Bernard, founder and senior pastor of the Christian Cultural Center in Brooklyn, New York's largest evangelical congregation, where regulars are arriving earlier to get a seat. "When people are shaken to the core, it can open doors."
Nationwide, congregations large and small are presenting programs of practical advice for people in fiscal straits - from a homegrown series on "Financial Peace" at a Midtown Manhattan church called the Journey, to the "Good Sense" program developed at the 20,000-member Willow Creek Community Church in South Barrington, Illinois, and now offered at churches all over the country.
Many ministers have for the moment jettisoned standard sermons on marriage and the Beatitudes to preach instead about the theological meaning of the downturn.
The Jehovah's Witnesses, who moved much of their door-to-door evangelizing to the night shift 10 years ago because so few people were home during the day, returned to daylight witnessing this year. "People are out of work, and they are answering the door," said a spokesman, J.R. Brown.
Bernard plans to start 100 prayer groups next year, using a model conceived by the pastor Rick Warren, to "foster spiritual dialogue in these times" in small gatherings around the city.
A recent spot check of some large Roman Catholic parishes and mainline Protestant churches around the nation indicated attendance increases there, too. But they were nowhere near as striking as those reported by congregations describing themselves as evangelical, a term generally applied to churches that stress the literal authority of Scripture and the importance of personal conversion, or being "born again."
Part of the evangelicals' new excitement is rooted in a communal belief that the big Christian revivals of the 19th century, known as the second and third Great Awakenings, were touched off by economic panics. Historians of religion do not buy it, but the notion "has always lived in the lore of evangelism," said Tony Carnes, a sociologist who studies religion.
A study last year may lend some credence to the legend. In "Praying for Recession: The Business Cycle and Protestant Religiosity in the United States," David Beckworth, an assistant professor of economics at Texas State University, looked at long-established trend lines showing the growth of evangelical congregations and the decline of mainline churches and found a more telling detail: During each recession cycle between 1968 and 2004, the rate of growth in evangelical churches jumped 50 percent. By comparison, mainline Protestant churches continued their decline during recessions, though a bit more slowly.
The little-noticed study began receiving attention from some preachers in September, when the stock market began its free fall. With the swelling attendance they were seeing, and a sense that worldwide calamities come along only once in an evangelist's lifetime, the study has encouraged some to think big.
"I found it very exciting, and I called up that fellow to tell him so," said the Reverend Don MacKintosh, a Seventh-day Adventist and religious broadcaster in California who contacted Beckworth a few weeks ago after hearing word of his paper from another preacher. "We need to leverage this moment, because every Christian revival in this country's history has come off a period of rampant greed and fear. That's what we're in today - the time of fear and greed."
Frank O'Neill, 54, a manager who lost his job at Morgan Stanley this year, said the "humbling experience" of unemployment made him cast about for a more personal relationship with God than he was able to find in the Catholicism of his youth. In joining the Shelter Rock Church on Long Island, he said, he found a deeper sense of "God's authority over everything - I feel him walking with me."
The sense of historic moment is underscored especially for evangelicals in New York who celebrated the 150th anniversary last year of the Fulton Street Prayer Revival, one of the major religious resurgences in America. Also known as the Businessmen's Revival, it started during the Panic of 1857 with a noon prayer meeting among traders and financiers in Manhattan's financial district.
Over the next few years, it led to tens of thousands of conversions in the United States and inspired the volunteerism movement behind the founding of the Salvation Army, said the Reverend McKenzie Pier, president of the New York City Leadership Center, an evangelical pastors' group that marked the anniversary with a three-day conference at the Hilton New York. "The conditions of the Businessmen's Revival bear great similarities to what's going on today," he said. "People are losing a lot of money."
But why the evangelical churches seem to thrive especially in hard times is a Rorschach test of perspective.
For some evangelicals, the answer is obvious. "We have the greatest product on earth," said the Reverend Steve Tomlinson, senior pastor of the Shelter Rock Church.
Beckworth, a macroeconomist, posited another theory: though expanding demographically since becoming the nation's largest religious group in the 1990s, evangelicals as a whole still tend to be less affluent than members of mainline churches, and therefore depend on their church communities more during tough times, for material as well as spiritual support. In good times, he said, they are more likely to work on Sundays, which may explain a slower rate of growth among evangelical churches in nonrecession years.
Monsignor Thomas McSweeney, who writes columns for Catholic publications and appears on MSNBC as a religion consultant, said the growth is fed by evangelicals' flexibility. In a cascading financial crisis, he said, a pastor can discard a sermon prescribed by the liturgical calendar and directly address the anxiety in the air.
But a recession also means fewer dollars in the collection basket.
"We are at the front end of a $10 million building program," said the Reverend Terry Smith, pastor of the Life Christian Church in West Orange. "Am I worried about that? Yes. But right now, I'm more worried about my congregation."
Apa yang berlaku ini adalah contoh manifestasi gharizatul tadayyun (yang saya dah ceritakan dalam posting sebelum ini). Adalah perkara yang lumrah, gharizatul tadayyun manusia akan naik apabila gharizatul baqa’nya tertekan. Senang kata, bila dah susah baru nak ingat tuhan. Naluri pada dasarnya mampu terpenuh walaupun dipenuhi dengan jalan yang salah. Tetapi ketenangan hakiki hanya penyembahan kepada Allah swt.
Saudara-saudara2 bacalah ye…
International Herald Tribune
By Paul Vitello
Published: December 14, 2008
The sudden crush of worshipers packing the small evangelical Shelter Rock Church in Manhasset, New York - a Long Island town of yacht clubs and hedge fund managers - forced the pastor to set up an overflow room with closed-circuit TV and 100 folding chairs, which have been filled for six consecutive Sundays.
In Seattle, the Mars Hill Church, one of the fastest-growing evangelical churches in the country, grew to 7,000 members this fall, up 1,000 in a year. At the Life Christian Church in West Orange, New Jersey, prayer requests have doubled - almost all of them aimed at getting or keeping jobs.
Like evangelical churches around the United States, the three churches have enjoyed steady growth over the past decade. But since September, pastors nationwide say they have seen such a burst of new interest that they find themselves contending with powerful conflicting emotions - deep empathy and quiet excitement - as they re-encounter an old piece of religious lore:
Bad times are good for evangelical churches.
"It's a wonderful time, a great evangelistic opportunity for us," said the Reverend A.R. Bernard, founder and senior pastor of the Christian Cultural Center in Brooklyn, New York's largest evangelical congregation, where regulars are arriving earlier to get a seat. "When people are shaken to the core, it can open doors."
Nationwide, congregations large and small are presenting programs of practical advice for people in fiscal straits - from a homegrown series on "Financial Peace" at a Midtown Manhattan church called the Journey, to the "Good Sense" program developed at the 20,000-member Willow Creek Community Church in South Barrington, Illinois, and now offered at churches all over the country.
Many ministers have for the moment jettisoned standard sermons on marriage and the Beatitudes to preach instead about the theological meaning of the downturn.
The Jehovah's Witnesses, who moved much of their door-to-door evangelizing to the night shift 10 years ago because so few people were home during the day, returned to daylight witnessing this year. "People are out of work, and they are answering the door," said a spokesman, J.R. Brown.
Bernard plans to start 100 prayer groups next year, using a model conceived by the pastor Rick Warren, to "foster spiritual dialogue in these times" in small gatherings around the city.
A recent spot check of some large Roman Catholic parishes and mainline Protestant churches around the nation indicated attendance increases there, too. But they were nowhere near as striking as those reported by congregations describing themselves as evangelical, a term generally applied to churches that stress the literal authority of Scripture and the importance of personal conversion, or being "born again."
Part of the evangelicals' new excitement is rooted in a communal belief that the big Christian revivals of the 19th century, known as the second and third Great Awakenings, were touched off by economic panics. Historians of religion do not buy it, but the notion "has always lived in the lore of evangelism," said Tony Carnes, a sociologist who studies religion.
A study last year may lend some credence to the legend. In "Praying for Recession: The Business Cycle and Protestant Religiosity in the United States," David Beckworth, an assistant professor of economics at Texas State University, looked at long-established trend lines showing the growth of evangelical congregations and the decline of mainline churches and found a more telling detail: During each recession cycle between 1968 and 2004, the rate of growth in evangelical churches jumped 50 percent. By comparison, mainline Protestant churches continued their decline during recessions, though a bit more slowly.
The little-noticed study began receiving attention from some preachers in September, when the stock market began its free fall. With the swelling attendance they were seeing, and a sense that worldwide calamities come along only once in an evangelist's lifetime, the study has encouraged some to think big.
"I found it very exciting, and I called up that fellow to tell him so," said the Reverend Don MacKintosh, a Seventh-day Adventist and religious broadcaster in California who contacted Beckworth a few weeks ago after hearing word of his paper from another preacher. "We need to leverage this moment, because every Christian revival in this country's history has come off a period of rampant greed and fear. That's what we're in today - the time of fear and greed."
Frank O'Neill, 54, a manager who lost his job at Morgan Stanley this year, said the "humbling experience" of unemployment made him cast about for a more personal relationship with God than he was able to find in the Catholicism of his youth. In joining the Shelter Rock Church on Long Island, he said, he found a deeper sense of "God's authority over everything - I feel him walking with me."
The sense of historic moment is underscored especially for evangelicals in New York who celebrated the 150th anniversary last year of the Fulton Street Prayer Revival, one of the major religious resurgences in America. Also known as the Businessmen's Revival, it started during the Panic of 1857 with a noon prayer meeting among traders and financiers in Manhattan's financial district.
Over the next few years, it led to tens of thousands of conversions in the United States and inspired the volunteerism movement behind the founding of the Salvation Army, said the Reverend McKenzie Pier, president of the New York City Leadership Center, an evangelical pastors' group that marked the anniversary with a three-day conference at the Hilton New York. "The conditions of the Businessmen's Revival bear great similarities to what's going on today," he said. "People are losing a lot of money."
But why the evangelical churches seem to thrive especially in hard times is a Rorschach test of perspective.
For some evangelicals, the answer is obvious. "We have the greatest product on earth," said the Reverend Steve Tomlinson, senior pastor of the Shelter Rock Church.
Beckworth, a macroeconomist, posited another theory: though expanding demographically since becoming the nation's largest religious group in the 1990s, evangelicals as a whole still tend to be less affluent than members of mainline churches, and therefore depend on their church communities more during tough times, for material as well as spiritual support. In good times, he said, they are more likely to work on Sundays, which may explain a slower rate of growth among evangelical churches in nonrecession years.
Monsignor Thomas McSweeney, who writes columns for Catholic publications and appears on MSNBC as a religion consultant, said the growth is fed by evangelicals' flexibility. In a cascading financial crisis, he said, a pastor can discard a sermon prescribed by the liturgical calendar and directly address the anxiety in the air.
But a recession also means fewer dollars in the collection basket.
"We are at the front end of a $10 million building program," said the Reverend Terry Smith, pastor of the Life Christian Church in West Orange. "Am I worried about that? Yes. But right now, I'm more worried about my congregation."
Sunday, December 14, 2008
KEPADA SIAPA HUKUM HARUS BERPIHAK?
(Bahagian 2- Akhir)
Hakikat Manusia
Hakikat kewujudan manusia tidak pernah berubah sejak manusia pertama, Adam a.s hinggalah bayi terakhir yang akan dilahirkan sejurus sebelum ditiup sangkakala. Setiap manusia mempunyai keperluan biologi(hajatul udhawiyah) untuk terus hidup. Antaranya makan, minum, bernafas, berkumuh, mencuci darah, mengepam darah dan keperluan biologi yang lain. Kegagalan memenuhi salah satu dari keperluan ini membawa kepada natijah kematian.
Dalam masa yang sama manusia juga dikurniakan Allah swt naluri(gharizah). Gharizatul baqa’ membuatkan manusia ingin dihormati, menjaga maruah, ingin terus hidup, jawatan, pangkat dan pangkat. Rasa ingin disayangi dan menyayangi sememangnya cukup indah dalam diri manusia lantaran gharizatun nau’ agar manusia mampu melestarikan keturunan walaupun tidak mesti demikian. Dalam masa yang sama manusia mempunyai gharizatul tadayyun, sifat semula jadi untuk mengagung dan mentaqdiskan. Hanya saja seringkali pengagungan itu tersasar dari penyembahan kepada Al-Khaliq kepada pengagungan sesama makhluk. Naluri dalam 3 bentuknya ini(baqa’, nau’ dan tadayyun) tidak menyebabkan kematian atau kecacatan jika tidak dipenuhi tetapi mungkin membuat hati lara, jiwa kecewa dan hasrat yang meluap-luab akibat keinginan tidak terpenuh.
Keperluan biologi dan naluri ini merupakan potensi yang ada pada manusia(dan juga haiwan) yang mendorong manusia berakitiviti setiap hari untuk memenuhi tuntutannya. Samada hendak memenuhinya atau tidak dan bagaimana memenuhinya bergantung kepada pemikiran seseorang. Kerana itu akal menjadi objek taklif. Dengan akal manusia dapat mencari hakikat pencipta sebagaimana kata Imam Syafie ‘ awaluddeen ma’rifatullah’. Dengan akal didapatlah manusia memahami aturan yang diturunkan Al Khaliq untuk mengatur kehendak yang muncul dari keperluan biologis dan naluri(nafsu) tadi. Dengan akal juga manusia mampu untuk menurut tuntutan nafsu.
Inilah yang saya maksud diawal tadi bahawa hakikat manusia tidak pernah berubah. Ia sama sahaja antara orang zaman sebelum atau sesudah Masihi, sebelum atau selepas Hijrah, sebelum atau sesudah jatuhnya khilafah uthmaniyah, sebelum atau pasca abad Millenium. Ia sama saja samada antara Arab Badwi di tengah gurun, atau Cowboy di Arizona, atau Eskimo di kutub sana, mahupun si Melayu di Asia Tenggara atau pemburu di Siberia. Yang berbeza hanya bentuk pemenuhan terhadap kehendak yang lahir hajat dan naluri.
Islam adalah satu-satunya agama yang diiktiraf oleh Allah swt untuk mengatur apa yang lahir dari hajat udhawiyah dan naluri ini. Malah ini lama telah lama dijawab oleh Allah berhubung kerisauan Malaikat
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Allah juga menjelaskan bahawa Dialah yang meneanugerahkan potensi-potensi ini dan memberikan petunjuk untuk mengaturnya.
Tuhan kami (iaitu) Tuhan yang telah menganugerahkan kepada setiap sesuatu dengan bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (Thaha:50)
Jadi saya balikkan persoalan topik ini kepada pembaca, kepada siapakah hukum harus berpihak?
HUKUM ISLAM BERPIHAK KEPADA SEMUA
Islam adalah rahmat kepada sekelian, alam bukan golongan tertentu. Terpulang samada kita mahupun mencari atau membutakan mata dari petunjuk Allah ini. Ia adalah untuk semua. Apabila Islam mengharamkan orang bukan Islam terlibat dalam pemerintahan bukanlah menganiaya mereka, itu adalah untuk kebaikan mereka bukan menganiaya mereka. Jadi mengapa masih ada orang Islam yang mengiktirah pemerintahan bukan Islam terhadap orang Islam dan malah memberi kerjasama kepada mereka? Tidakkah kita pernah mengetahui tafsiran mufassirin dan ulama’ mujtahidin terhadap ayat-ayat Allah, antaranya
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (menguasai) orang-orang Mukmin” (An Nisa:141)“
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu” (An Nisa’:59)
“Dan apabila datang kepada kamu suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka” (An Nisa’:83)
Saya tidak berhasrat untuk mengupas tafsiran ‘minkum’ dan ‘minhum’ dalam ayat-ayat diatas. Jelas ulil amri wajib merujuk kepada pemerintahan Islam, bukan pemerintahan kufur.
Islam sebagai rahmat sekalian alam menjaga kemaslahatan Muslim mahupun bukan antaranya dengan penerapan uqubat Islam. Dari Hudud, Jinayat, Ta’zir mahupun mukhalafat adalah untuk kemaslahatan semua. Ia bersifat zawajir (pencegah) dari berulangnya kes jenayah. Firman Allah dalam ayat al Baqarah 179” Sesungguhnya di dalam qishash terdapat jaminan bagi hidup”. Tidakkah itu baik untuk semua? Jadi mengapa ada pihak yang membawa idea pelik kafir zimmi tidak wajib dikenakan hudud, tetapi diberi pilihan antara hudud atau undang-undang sivil? Hukum uqubat Islam juga bersifat jawabir(penghapus) dosa. Kerana itulah Zaid dan AlGhamediah rela direjam sampai mati. Hukuman yang telah dijatuhkan di dunia maka terselamatlah dari hukuman di akhirat yang berkali ganda lebih seksa. Jadi mengapa masih ada yang masih menentang perlaksanaan hukum Islam, betapa bodohnya pemimpin begini!
Sememangnya Islam bertentang 100% dengan hukum yang lahir dari sistem demokrasi hari ini. Seringkali Islam diserang sebagai byers, tidak adil pada bukan Islam. Dan wujud segelintir ummat Islam yang sanggup menjadi pihak tertuduh menjawab secara defensif apologetik. Mereka takut dikatakan tidak demokratik, tidak mengiktiraf idea kebebasan, menafikan hak pemerintahan kepada wanita dan bukan Islam. Walhal hakikatnya memang Islam bertentangan dengan demokrasi, mengharamkan idea liberalisme, mengharamkan wanita dan bukan Islam terlibat pemerintahan malah mewajib kafir zimmi tunduk kepada negara dan undang2 Islam.
Kerana Islam itu untuk semua dan berpihak kepada semua. Wallahua’lam.
Hakikat Manusia
Hakikat kewujudan manusia tidak pernah berubah sejak manusia pertama, Adam a.s hinggalah bayi terakhir yang akan dilahirkan sejurus sebelum ditiup sangkakala. Setiap manusia mempunyai keperluan biologi(hajatul udhawiyah) untuk terus hidup. Antaranya makan, minum, bernafas, berkumuh, mencuci darah, mengepam darah dan keperluan biologi yang lain. Kegagalan memenuhi salah satu dari keperluan ini membawa kepada natijah kematian.
Dalam masa yang sama manusia juga dikurniakan Allah swt naluri(gharizah). Gharizatul baqa’ membuatkan manusia ingin dihormati, menjaga maruah, ingin terus hidup, jawatan, pangkat dan pangkat. Rasa ingin disayangi dan menyayangi sememangnya cukup indah dalam diri manusia lantaran gharizatun nau’ agar manusia mampu melestarikan keturunan walaupun tidak mesti demikian. Dalam masa yang sama manusia mempunyai gharizatul tadayyun, sifat semula jadi untuk mengagung dan mentaqdiskan. Hanya saja seringkali pengagungan itu tersasar dari penyembahan kepada Al-Khaliq kepada pengagungan sesama makhluk. Naluri dalam 3 bentuknya ini(baqa’, nau’ dan tadayyun) tidak menyebabkan kematian atau kecacatan jika tidak dipenuhi tetapi mungkin membuat hati lara, jiwa kecewa dan hasrat yang meluap-luab akibat keinginan tidak terpenuh.
Keperluan biologi dan naluri ini merupakan potensi yang ada pada manusia(dan juga haiwan) yang mendorong manusia berakitiviti setiap hari untuk memenuhi tuntutannya. Samada hendak memenuhinya atau tidak dan bagaimana memenuhinya bergantung kepada pemikiran seseorang. Kerana itu akal menjadi objek taklif. Dengan akal manusia dapat mencari hakikat pencipta sebagaimana kata Imam Syafie ‘ awaluddeen ma’rifatullah’. Dengan akal didapatlah manusia memahami aturan yang diturunkan Al Khaliq untuk mengatur kehendak yang muncul dari keperluan biologis dan naluri(nafsu) tadi. Dengan akal juga manusia mampu untuk menurut tuntutan nafsu.
Inilah yang saya maksud diawal tadi bahawa hakikat manusia tidak pernah berubah. Ia sama sahaja antara orang zaman sebelum atau sesudah Masihi, sebelum atau selepas Hijrah, sebelum atau sesudah jatuhnya khilafah uthmaniyah, sebelum atau pasca abad Millenium. Ia sama saja samada antara Arab Badwi di tengah gurun, atau Cowboy di Arizona, atau Eskimo di kutub sana, mahupun si Melayu di Asia Tenggara atau pemburu di Siberia. Yang berbeza hanya bentuk pemenuhan terhadap kehendak yang lahir hajat dan naluri.
Islam adalah satu-satunya agama yang diiktiraf oleh Allah swt untuk mengatur apa yang lahir dari hajat udhawiyah dan naluri ini. Malah ini lama telah lama dijawab oleh Allah berhubung kerisauan Malaikat
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Allah juga menjelaskan bahawa Dialah yang meneanugerahkan potensi-potensi ini dan memberikan petunjuk untuk mengaturnya.
Tuhan kami (iaitu) Tuhan yang telah menganugerahkan kepada setiap sesuatu dengan bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (Thaha:50)
Jadi saya balikkan persoalan topik ini kepada pembaca, kepada siapakah hukum harus berpihak?
HUKUM ISLAM BERPIHAK KEPADA SEMUA
Islam adalah rahmat kepada sekelian, alam bukan golongan tertentu. Terpulang samada kita mahupun mencari atau membutakan mata dari petunjuk Allah ini. Ia adalah untuk semua. Apabila Islam mengharamkan orang bukan Islam terlibat dalam pemerintahan bukanlah menganiaya mereka, itu adalah untuk kebaikan mereka bukan menganiaya mereka. Jadi mengapa masih ada orang Islam yang mengiktirah pemerintahan bukan Islam terhadap orang Islam dan malah memberi kerjasama kepada mereka? Tidakkah kita pernah mengetahui tafsiran mufassirin dan ulama’ mujtahidin terhadap ayat-ayat Allah, antaranya
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (menguasai) orang-orang Mukmin” (An Nisa:141)“
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu” (An Nisa’:59)
“Dan apabila datang kepada kamu suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka” (An Nisa’:83)
Saya tidak berhasrat untuk mengupas tafsiran ‘minkum’ dan ‘minhum’ dalam ayat-ayat diatas. Jelas ulil amri wajib merujuk kepada pemerintahan Islam, bukan pemerintahan kufur.
Islam sebagai rahmat sekalian alam menjaga kemaslahatan Muslim mahupun bukan antaranya dengan penerapan uqubat Islam. Dari Hudud, Jinayat, Ta’zir mahupun mukhalafat adalah untuk kemaslahatan semua. Ia bersifat zawajir (pencegah) dari berulangnya kes jenayah. Firman Allah dalam ayat al Baqarah 179” Sesungguhnya di dalam qishash terdapat jaminan bagi hidup”. Tidakkah itu baik untuk semua? Jadi mengapa ada pihak yang membawa idea pelik kafir zimmi tidak wajib dikenakan hudud, tetapi diberi pilihan antara hudud atau undang-undang sivil? Hukum uqubat Islam juga bersifat jawabir(penghapus) dosa. Kerana itulah Zaid dan AlGhamediah rela direjam sampai mati. Hukuman yang telah dijatuhkan di dunia maka terselamatlah dari hukuman di akhirat yang berkali ganda lebih seksa. Jadi mengapa masih ada yang masih menentang perlaksanaan hukum Islam, betapa bodohnya pemimpin begini!
Sememangnya Islam bertentang 100% dengan hukum yang lahir dari sistem demokrasi hari ini. Seringkali Islam diserang sebagai byers, tidak adil pada bukan Islam. Dan wujud segelintir ummat Islam yang sanggup menjadi pihak tertuduh menjawab secara defensif apologetik. Mereka takut dikatakan tidak demokratik, tidak mengiktiraf idea kebebasan, menafikan hak pemerintahan kepada wanita dan bukan Islam. Walhal hakikatnya memang Islam bertentangan dengan demokrasi, mengharamkan idea liberalisme, mengharamkan wanita dan bukan Islam terlibat pemerintahan malah mewajib kafir zimmi tunduk kepada negara dan undang2 Islam.
Kerana Islam itu untuk semua dan berpihak kepada semua. Wallahua’lam.
Sunday, December 7, 2008
Penentuan Aidul Adha Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah
Selamat menyambut Aidul Adha, salah satu dari 2 perayaan ummat Islam. Saya amat bersyukur kali ini kerana pemerintah di Malaysia menetapkan Aidul Adha sama dengan ummat Islam dan jemaah haji di Makkah. Sungguh menyedihkan kerana pada tahun-tahun yang sudah pemerintah Malaysia menetapkan Hari Raya Kurban jatuh 2 hari selepas Hari Arafah.
Para ulama mujtahidin telah berbeza pandangan dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Aidul Fitri, tetapi tidak untuk Aidul Adha. Bagi Aidul Fithri, Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, iaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Ertinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bahagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Aidul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.Kerana itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya kerajaan sekular Barisan Nasional(BN) dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbezaan Idul Adha di Malaysia. Alhamdulillah ia tidak terjadi pada Aidul Adha tahun ini tetapi ia telah terjadi ditahun-tahun sudah.Aidul Adha di Malaysia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari penyembelihan qurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits A’isyah RA, dia berkata “Rasulullah SAW telah bersabda :
“Aidul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Aidul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA dengan lafaz :
“Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Aidul Fitri adalah hari mereka berbuka. Aidul Adha adalah hari mereka menyembelih korban.” (HR.Tirmidzi) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :
“Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang.” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
Sementara itu Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Orang-orang (kaum Muslim) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka.”
Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beraidul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama kesatuan ummat Islam (lafaz hadits: an-Naas), yaitu maksudnya bersama kaum Muslim pada umumnya, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu, mahupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum Muslim pada umumnya.
(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam keadaam tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi hak pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti yang berlaku di Malaysia pada tahun lepas.
(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Karena itu, atas dasar apa kaum Muslim di Malaysia justeru berpuasa Arafah pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Shalat Idul Adha di luar waktunya dan malahan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
Sungguh, fenomena di Malaysia pada tahun-tahun yang sudah ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (bid’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
Sebahagian orang membolehkan perbezaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits:
“Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !”
Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbezaan hari raya (termasuk Aidul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengamalan ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :
Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung AIdul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Aidul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Aidul Fitri, bukan Aidul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbezaan Aidul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbezaan mathla’ (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeza. Sebab, bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeza sebenarnya hanyalah waktu pengamatan, ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Aidul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun “dalalah” (pemahaman) yang membolehkan pengamlan matematik untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi: “(……jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!” maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan matematik, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.
Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Aidul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah– maka hadits tersebut justeru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan hak kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat penduduk Makkah (bukan ru’yat kaum Muslim yang lain di pelbagai negeri Islam).
Berdasarkan huraian ini, maka Malaysia mahupun wilayah lain tidak boleh berbeza sendiri dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Malaysia tidak boleh menentang ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslim di seantero pelusok dunia, kerana seluruh negara menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Hijaz.
Lagi pula, atas dasar apa Malaysia menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim? Apakah kita bercita-cita untuk menjadi negara pertama yang mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Malaysia akan turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?
Kita percaya sepenuhnya, perbezaan hari raya di Dunia Islam saat ini sesungguhnya terpulang kepada perbezaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang dicipta oleh kaum kafir penjajah.
Kita percaya pula sepenuhnya, bahawa persatuan dan kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum Muslim di seluruh dunia, serta akan memimpin kaum Muslim untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !
Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !
Para ulama mujtahidin telah berbeza pandangan dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Aidul Fitri, tetapi tidak untuk Aidul Adha. Bagi Aidul Fithri, Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, iaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Ertinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bahagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Aidul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.Kerana itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya kerajaan sekular Barisan Nasional(BN) dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbezaan Idul Adha di Malaysia. Alhamdulillah ia tidak terjadi pada Aidul Adha tahun ini tetapi ia telah terjadi ditahun-tahun sudah.Aidul Adha di Malaysia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari penyembelihan qurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits A’isyah RA, dia berkata “Rasulullah SAW telah bersabda :
“Aidul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Aidul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA dengan lafaz :
“Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Aidul Fitri adalah hari mereka berbuka. Aidul Adha adalah hari mereka menyembelih korban.” (HR.Tirmidzi) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :
“Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang.” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
Sementara itu Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Orang-orang (kaum Muslim) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka.”
Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beraidul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama kesatuan ummat Islam (lafaz hadits: an-Naas), yaitu maksudnya bersama kaum Muslim pada umumnya, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu, mahupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum Muslim pada umumnya.
(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam keadaam tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi hak pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti yang berlaku di Malaysia pada tahun lepas.
(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Karena itu, atas dasar apa kaum Muslim di Malaysia justeru berpuasa Arafah pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Shalat Idul Adha di luar waktunya dan malahan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
Sungguh, fenomena di Malaysia pada tahun-tahun yang sudah ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (bid’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
Sebahagian orang membolehkan perbezaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits:
“Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !”
Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbezaan hari raya (termasuk Aidul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengamalan ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :
Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung AIdul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Aidul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Aidul Fitri, bukan Aidul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbezaan Aidul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbezaan mathla’ (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeza. Sebab, bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeza sebenarnya hanyalah waktu pengamatan, ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Aidul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun “dalalah” (pemahaman) yang membolehkan pengamlan matematik untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi: “(……jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!” maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan matematik, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.
Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Aidul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah– maka hadits tersebut justeru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan hak kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat penduduk Makkah (bukan ru’yat kaum Muslim yang lain di pelbagai negeri Islam).
Berdasarkan huraian ini, maka Malaysia mahupun wilayah lain tidak boleh berbeza sendiri dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Malaysia tidak boleh menentang ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslim di seantero pelusok dunia, kerana seluruh negara menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Hijaz.
Lagi pula, atas dasar apa Malaysia menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim? Apakah kita bercita-cita untuk menjadi negara pertama yang mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Malaysia akan turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?
Kita percaya sepenuhnya, perbezaan hari raya di Dunia Islam saat ini sesungguhnya terpulang kepada perbezaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang dicipta oleh kaum kafir penjajah.
Kita percaya pula sepenuhnya, bahawa persatuan dan kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum Muslim di seluruh dunia, serta akan memimpin kaum Muslim untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !
Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !