Monday, August 17, 2009
Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan
Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?
Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal
Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]
Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya
Tidak Terikat Dengan Mathla'
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:
Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”
Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]
Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.
Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.
Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]
Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)
Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Malaysia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.
Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]
Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.
Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]
Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].
Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]
Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]
Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]
Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.
Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State
Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.
Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.
Kaum Muslim di Jakarta tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.
Khatimah
Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua prob¬lematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mere¬ka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan mener¬apkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim¬in hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).
WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI).
________________________________________
[1] al-Nawawi, al-Majmû’Syarh al-Muhadzdzab,6/269
[2] Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[3] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shalâh, 28; Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[4] al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25
[5] Dalil syara yang mu’tabar adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.
[6] al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2/364.
[7] al-Amidi, al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, 1/329
[8] Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fath al-Bârî; Bab Shiyâm.
[9] Al-Shan’ani, Subul al-Salâm, jld. 2, hal. 310.
[10] al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, 1/368.
[12] al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550
[13] al-Qurthuby, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/296.
[14] al-Hashfaky, “al-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr”, 2/131-132
[15] Mughn al-Muhtâj, 2/223-224
[16] al-Syaukani, Nayl al- Authar, 2/ 218.
[17] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 25/104-105.
Wednesday, August 12, 2009
http://ihsasulfikri.wordpress.com
MEMPERKENALKAN SEBUAH LAGI WEBLOG PEJUANG KHILAFAH.
SUARA ANAK MUDA YANG LANTANG MEMPERJUANGKAN ISLAM.
LAYARI http://ihsasulfikri.wordpress.com
PANAS DAN BERKOBAR-KOBAR, BIJAK DAN TAJAM PENALARAN.
GEGARAN AURA MAHASISWA DENGAN DAKWAH KHILAFAH ALA MINHAJ NUBUWWAH.
BUKAN SEKADAR SEMANGAT, TETAPI MANTAP DENGAN FAKTA DAN ANALISA.
SUARA ANAK MUDA YANG LANTANG MEMPERJUANGKAN ISLAM.
LAYARI http://ihsasulfikri.wordpress.com
PANAS DAN BERKOBAR-KOBAR, BIJAK DAN TAJAM PENALARAN.
GEGARAN AURA MAHASISWA DENGAN DAKWAH KHILAFAH ALA MINHAJ NUBUWWAH.
BUKAN SEKADAR SEMANGAT, TETAPI MANTAP DENGAN FAKTA DAN ANALISA.
Monday, August 10, 2009
BERPUASA MENGIKUT SYARIAT SEKULAR?
Lebih seminggu saya tidak menulis. Keinginan itu ada tapi kesuntukan masa membataskan hasrat saya. Lebih kurang seminggu lagi kita akan bertemu Ramadhan buat sekian kalinya. Bulan yang penuh barkah dan maghfirah. Budaya di tempat saya, ramai yang berebut-rebut mengadakan kenduri tahlil di akhir Sya’ban sebelum memasuki Ramadhan. Hingga penuh white board disurau dengan pengumuman jemputan kenduri tahlil. Saya rasa ia lebih kepada budaya pengamalan masyarakat jawa dan seperti terdapat unsur bid’ah disitu.
Saban tahun setiap kali menjelang puasa, Aidul Fithri dan Eidul Adha isu yang sama juga berbangkit. Orang Islam di Malaysia lebih suka berpuasa dan berhari raya mengikut ketetapan pemerintah Malaysia. Begitu juga orang Islam di Brunei, Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Jordan, Arab Saudi ramai yang lebih suka berpuasa dan berhari raya mengikut ketetapan pemerintah masing-masing. Mereka tidak mahu berpuasa dan berhari raya serentak dengan seluruh lautan ummat Islam di seluruh dunia tetapi lebih suka menyambutnya mengikut sempadan geopolitik. Itulah reality yang kita lihat setiap tahun.
Saya bukan mempermasalahkan khilafiah rukyah atau hisab. Saya juga tidak mempersoalkan pandangan sesetengah ulama’ berkenaan konsep mathla’ . Saya terima ia sebagai pandangan yang syar’ie dan kita masing-masing mengikut pandangan yang pada kita paling rajih. Yang diajarkan kepada saya oleh Hizbut Tahrir, adalah berkenaan isu kesatuan ummat. Apakah praktik yang digunakan hari ini, berpuasa dan berhari raya mengikut ketetapan pemerintah di Negara-negara masing-masing ini yang dinamakan kesatuan ummat dan inikah yang dimahukan oleh syariat Islam? Lebih menyedihkan lagi para ulama’ dan ustaz-ustaz rata-rata mengikut saja yang diputuskan saja oleh pemerintah dalam hal ini. Di Malaysia khususnya, mereka tidak berani bersuara menentang kemaksiatan ini kerana pengisytiharan tersebut berkait dengan raja. Akibatnya apabila pendakwah yang mengutarakan hal ini, maka ummat melihatnya sebagai suatu yang pelik, malah menuduhnya sebagai ajaran sesat. Walhal siapa yang sebenarnya yang tersesat hingga terjerumus makan di hari pertama Ramadhan, berpuasa di Hari Raya Eidul Fithri dan menyambut Eidul Adha 2 hari selepas wukuf?
Dalam membahas fiqh ini, penentuan antara Aidul Fitri dan Aidul Adha merupakan 2 fiqh yang berbeza. Fiqh bagi menentukan tarikh hari raya haji adalah lebih mudah. Ini kerana seluruh mazhab (Syafie, Hanafi, Maliki dan Hanbali) telah mengamalkan ru’yah yang sama bagi Eidul Adha. Ru’yah yang dimaksudkan adalah penentuan 1 Zulhijjah adalah ditentukan oleh penduduk Makkah. Secara mudah kita fahami, Ibadah Haji itu dilakukan di Makkah dan Hari Raya Haji adalah hari selepas wuquf.
Manakala bagi penentuan awal Ramadhan dan Syawal berlaku sedikit ikhtilaf. Mengikut sebahagian pandangan ulama’ mazhab syafie, jika suatu kawasan melihat anak bulan, maka kawasan dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah perlu mengikuti hasil ru’yat kawasan tersebut. Sedangkan kawasan di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak semestinya mengikuti hasil ru’yat kawasan lain. Sedangkan bagi pandangan mazhab Maliki, Hanbali dan Hanafi, kaum Muslim tidak terikat dengan mana-mana mathla’.
Imam al-Syaukani menyatakan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”
Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yahbagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”
Dalam posting berikutnya saya akan sertakan penjelasan hukum berkenaan tarikh awal Ramadhan dan Raya Eidul Fithri, pandangan para mujtahidin dan tarjihnya. Jika kita meneliti dengan saksama, maka jelas kita akan dapati bahawa penentuan awal Puasa/Hari Raya berdasarkan penentuan pemerintah Negara masing-masing adalah pandangan yang bathil dan tidak bersandarkan kepada pandangan mana-mana mazhab. Apa yang diamalkan hari ini bukanlah mathla’ syar’ie melainkan mathla’ assobiyyah yang tidak layak diikuti oleh mana-mana orang beriman.
Oleh itu sebagai orang yang percaya dosa pahala, balasan syurga dan neraka, marilah sama-sama kita berpuasa dan berhari raya dengan kesatuan ummat Islam. Kita pecahkan tempurung yang membelenggu pemikiran ummat Islam hari ini supaya ummat Islam mahu berhari raya dalam kesatuan ummat, bukan dengan keegoan Negara masing-masing. Ia bukan tugas mudah. Kita akan berdepan caci maki mereka yang tak faham, perlian dan kutukan. Apatah lagi ramai ustaz-ustaz dan imam-imam yang menjadi sandaran ummat samada tidak memahami atau tidak peduli tentang hukum ini. Kita perlu kuat aqliah(dengan dalil) dan nafsiah(kekuatan dalaman) untuk menyuarakan dan menghadapi ketidakfahaman ummat. Oleh itu, selepas ini saya akan sertakan penjelasan berkenaan hukum ini beserta dalil, pandangan para fuqaha dan tarjihnya supaya saudara-saudara nilai dengan saksama, amalkan dan perjuangkan. Jika tidak, berterusanlah ummat Islam mula berpuasa dan berhari raya pada 3 hari berbeza. Nauzubillahiminzaliq.
Saturday, August 1, 2009
Hidup Disulam Pemergian
Masa berlalu cukup pantas. Tidak lama lagi jika sampai umur insyaAllah kita akan bertemu Ramadhan. Saya mengira hari, aduh sekali lagi ia datang ketika kerja saya sedang kemuncak sibuk. Jika mengikut jadual akhir bulan ini loji kuasa saya sepatutnya menyalurkan tenaga ke Grid Nasional. Ia akan mencipta sejarah loji kuasa pertama di Malaysia yang menyalurkan tenaga dari bahan buangan industri ke Grid Nasional. Mengikut kata Chairman syarikat, kemungkinan besar PM yang akan merasmikannya. Beginilah sukarnya bekerja dengan bukan Islam. Mereka seringkali tidak peduli dengan peristiwa di sekeliling kita. Comissioning di bulan Puasa, memanglah penat, pukul berapa nak balik, buka puasa di mana, laratkah aku nak bertarawikh, apatah lagi bangun malam jika telah penat dihambat kerja yang melelahkan ini? Inilah yang bermain difikiran saya 2,3 hari ini. Atau aku akan terlepas peluang meraih ganjaran sempena Ramadhan kali ini?
Saya juga mungkin mencipta sejarah, genap setahun tak balik ke kampung mertua. Kali terakhir saya balik semasa Hari Raya yang lepas. Apabila saya beritahu kepada boss, beliau menyatakan "you are the worst son in-law". Padahal kerana dia lah saya tak berani ambil cuti. Perancangan untuk mengerjakan haji tahun ini pun tertunda kerana saya tak dapat cuti. Takpelah, berada dalam senarai rayuan ini memang sukar untuk mendapat kepastian. Cuti tahunan tahun lepas masih ada 6 hari, cuti tahun ini baru ambil sehari dan ada beberapa hari cuti yang saya masih belum ambil tahun ini. wahhhh... banyaknya cuti saya. Kalau ada rezeki, nak ambil cuti pergi makan angin. Tapi tak tahu bila.
Sekarang ni musim H1N1, nak jalan-jalan pun bimbang. Sampai nak pergi ke pasar pun berfikir-fikir. Dah ramai yang dijangkiti H1N1 ditempat saya. Adik-adik saya ada di rumah diarah balik kerana Universiti ditutup sementara. Pandemik ini semakin tidak terkawal nampaknya. Antara solat maghrib dan isya' semalam, berbual bersama-sama jamaah lain tak lepas isu H1N1. Saya cuba alihkan cerita kepada isu di Xinjiang, ia masih belum reda. Malah 10000 orang telah hilang. Alhamdulillah ada juga yang berminat berkongsi pandangan. Tiba-tiba seorang jiran menyakan," engkau ni macam arwah. kau punya gaya, cerita, sebijik. aku rasa arwah pun kalau masih hidup akan beli kereta macam kau".
Jiran tersebut adalah sepupu kepada seorang sahabat baik saya yang telah meninggal dunia pada tahun 2003. Dah lebih 6 tahun rupanya. Entah mengapa saya mula jadik sebak teringatkannya. Allahyarham Mohd Iswadi b. Jainuri, semoga Allah mencucuri rahmat ke atas rohnya. Beliau adalah sahabat sama sekolah dengan saya. Tetapi zaman di sekolah saya tidak rapat dengannya. Beliau kategori budak alim yang memang dah cenderung kepada Islam, suka duduk di surau dan berani menegur. Kami sama-sama dalan team ragbi, hanya arwah seorang yang memakai pakaian menutup aurat. Roh dakwah memang dah nampak pada diri beliau, ke mana-mana beliau bercakap tentang Islam. Sedangkan saya pada zaman sekolah belum berminat dengan ini.
Saya rasa bersyukur sangat kerana Allah mentaqdirkan saya dalam satu kursus yang sama semasa di UTM. Semasa di tahun 1 bilik saya berdepan dengan bilik arwah dan saya selalu menumpang motor arwah kemana-mana. Sehingga apabila naik ke tahun 2 kami duduk sebilik di rumah sewa. Arwahlah yang menegur kesalahan-kesalahan saya, mengajak saya belajar agama, berjumpa ustaz, mendesak saya bergi ke usrah dan sebagainya. Saya masih ingat kami sama-sama naik motor arwah ke Kluang bertemu Ustaz Alizan. Ustaz Alizan adalah tempat rujukan arwah bab2 agama ini. Tapi ntah kenapa saya ni degil sangat. Sampai satu masa saya jadi rasa bersalah sendiri.
Apabila seorang saudara membawakan fikrah khilafah (masa tu belum tahu nama Hizbut Tahrir lagi) kepada saya, pada mulanya saya menjadi semakin bingung. Kepada arwahlah saya ceritakan dan kepada ustaz Alizanlah kami merujuk. Tetapi naluri dan akal fikiran saya mudah menerima fikrah khilafah yang dibawa. Akal jadi puas dan jiwa jadi tenang. Tetapi saya tak pandai nak menerangkan, sampai-sampai ada yang menyangka saya membawa ajaran sesat, apatah lagi demokrasi saya tiba-tiba haramkan. Saya masih ingat bagaimana arwah jadi risau takut saya ikut ajaran sesat. Sampailah saya ketemukan arwah dengan seorang sahabat untuk beri penerangan. Arwah boleh menerima dakwah khilafah ini dengan penuh keihlasan.Saya masih ingat di hari saya pergi membeli Al-Quran terjemahan, arwah sungguh tersenyum girang.
Apabila beliau menerima idea Hizbut Tahrir inilah baru dakwah di UTM mula berkembang. Ramai kawan-kawan yang arwah ajak ke halaqah. Sememang arwah telah sebelum ini pun terkenal dengan sukakan Islam, agak mudah beliau menarik orang. Saya rasa saya jauh ketinggalan. Antara saya dan arwah menjadi semakin rapat, kami dah macam adik-beradik. Tambahan pula adik saya pun tinggal menyewa bersama kami. Sampai arwah abah saya pun kata dah anggap arwah seperti anak sendiri. Arwah abah turut sedih apabila arwah Iswadi meninggal. Saya dapat merasakan betapa tulus hati arwah sebagai seorang teman. Beliau bukan saja sanggup menolong ketika saya susah tetapi ikhlas menegur ketika saya melakukan kesilapan. Sampai sekarang saya belum bertemu sahabat sedemikian.
Saya masih ingat 6 hari sebelum beliau meninggal dunia. Kami 6 orang dalam satu halaqah. Arwah bertanya, sekiranya beliau meninggal bagaimana dengan hutang-hutang JPA, dengan akaun-akaun bank yang beliau takut keluarganya akan mengambil interestnya sekali. Saya percaya syabab-syabab yang berada dalam halaqah tersebut masih ingat soalan-soalan beliau. Petang sebelum beliau meninggal beliau sempat turut bercerita tentang kematian. Saya rasa cikgu Hisham pasti ingat.
Petang itu hari Ahad, kami di rumah sewa. Saya ingin balik ke kampung sekejap, arwah pun ingin balik ke kampung sekejap. Ketika saya meninggalkan rumah saya nampak arwah sedang membuat halaqah. Saya pulang ke kampung di Parit Raja. Sepatutnya malam itu saya pulang semula ke Skudai. Tetapi akibat telah lewat dan stesen minyak telah tutup saya mengambil keputusan untuk pulang ke Skudai setelah Suboh kerana pukul 8pagi saya ada kelas. Pukul 9 habis kuliah saya terus balik ke rumah sewa. Motor arwah tiada. Saya dan kawan-kawan berbual. Katanya arwah pulang ke kampung. Tiba-tiba saya mendapat panggilan dari seoarang kawan, bertanya apakah betul Iswadi meninggal accident di Highway. Saya bagaikan tak percaya. Terus saya telefon rumahnya di kampung, saya masih ingat adik arwah yang bongsu menjawab. Saya memintanya memanggil abang Is. Jawabnya abang Is dah meninggal. Hanya tuhan yang tahu perasaan saya pada masa tersebut. Sahabat baik yang tak pernah saya jumpa selainnya hingga saat ini. Saya memaklumkan kepada kawan-kawan lain dan kami pergi ke kampungnya arwah di Rengit. Saya memang tak dapat menahan kesedihan di waktu tersebut, kehilangan sahabat terbaik yang cukup ikhlas kepada saya. Dari saya masih nakal sampai saya mula dekat dengan Islam. Tak jemu-jemu menasihat dan mengingatkan.
Saya kehilangan seorang kawan, teman dan member makan. Kebiasaannya dengan dia dan adik sayalah kami makan, kebetulan kami semua satu fakulti. Sarapan pagi(cum tengah hari) kami biasanya sekali. Kerana terlalu sedih kami pindah rumah sewa. Saya sebilik dengan Cikgu Hisham. Adik saya kata, dia taknak bilik nak tidur di luar sahaja. Tetapi setiap malam dia tidur bersama saya diatas katil bujang. 6 hari kemudian kami mahu pergi melawat keluarga arwah. Tiba-tiba kami mendapat panggilan adik saya pula kemalangan. Kami bergegas ke hospital Tun Aminah, JB. Sesampai saya lihat adik saya sedang diusung dari Kecemasan ke Operation Theater. Saya dengar beliau mengucap Allah... Allah...
Semasa menunggu pembedahan, naluri saya dapat merasakan saya akan rasa satu lagi kehilangan. Doktor keluar sekadar mengesahkan. Kali ini saya hilang adik yang benar-benar sayangkan abang. Menanggung perbelanjaan saya ketika saya extend pengajian. Yang rajin berdakwah dan jaga amalan.
Kepada Arwah Iswadi b. Jainuri dan Mohd Noor Ariff b. Khairudin dan Arwah Abah Khairudinb. Md Salleh (yang kembali ke Rahmatullah pada 2007) semoga Allah merahmati roh kalian. Aku teramat rindu dengan kalian. Semoga kita bertemu di Syurga kemudian. Ameen.