Monday, June 23, 2008

Sifat Orang Mukmin (Tafsir surah An Nur: 51-52) Bah. 1

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Sesungguhnya jawapan orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS an-Nur [24]: 51-52)

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Innamâ kâna qawl al-Mu’minîn idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih liyahkuma baynahum (Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin itu, jika mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi [mengadili] di antara mereka). Mukmin yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang benar keimanannya (ash-shâdiqîn fî îmânihim).1

Kata Allah dan Rasul-Nya dalam konteks ayat ini merujuk pada hukum-Nya. Karena itu, sebagaimana dinyatakan ath-Thabari, frasa idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih ditafsirkan dengan idzâ du‘û ilâ hukm Allâh wa ilâ hukm Rasûlih (jika mereka dipanggil pada hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya).2 Boleh juga, yang dimaksudkan adalah Kitabullah dan Rasul-Nya,3 atau Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.4 Dhamîr (kata ganti) pada kata liyahkuma kembali kepada Rasul saw. Sebab, Beliaulah yang secara langsung menetapkan keputusan hukum, walau pada hakikatnya hukum yang diterapkan adalah milik Allah.

Ketika kaum Mukmin itu dipanggil untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum Allah dan hukum Rasul-nya, mereka amat patuh. Kepatuhan mereka digambarkan dalam firman Allah Swt.: an yaqûlû sami’nâ wa atha’nâ (Mereka mengucapkan, “Kami mendengar dan kami patuh”). Menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa tersebut bermakna, “Kami mendengar ucapan Nabi saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka.5

Walaupun berbentuk khabar, yang dimaksud ayat ini bukan sekadar berita, namun memberikan pendidikan adab syar‘i terhadap kaum Mukmin ketika ada seruan (untuk memutuskan dengan syariah) dari salah seorang yang bersengketa kepada yang lain; bahwa demikianlah seharusnya sikap seorang Mukmin ketika mendengar seruan tersebut. Mereka menerimanya dengan taat dan tunduk.6 Fakhruddin ar- Razi dan Ibnu ‘Athiyyah menegaskan, wajib bagi kaum Mukmin mengatakan demikian ketika mereka diseru pada hukum Allah dan Rasul-Nya.7

Kemudian Allah Swt. berfirman: wa ulâika hum al-mufli­hûn (Mereka itulah orang-orang yang beruntung). Kata ulâika merujuk kepada kaum Mukmin yang digambarkan dalam kalimat sebelumnya. Karena kepatuhan dan ketaatan mereka pada syariah, mereka dikhabarkan mendapatkan keberuntungan. As-Sa’di menjelaskan, dibatasinya al-falâh untuk mereka karena makna al-falâh adalah memperoleh perkara yang dituntut dan terhindar dari perkara yang tidak disukai. Tidak ada yang mendapatkan keberuntungan (al-falâh) kecuali orang yang berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, mentaati Allah dan Rasul-Nya.8

Selanjutnya Allah Swt. menegaskan bahwa khabar gembira itu berlaku umum bagi siapa saja yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman: Waman yuthi’illâh wa Rasûlahu (Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Ertinya, mereka taat pada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, menerima hukum-hukum-Nya, baik menguntungkan maupun merugikan mereka.9

Di samping itu juga: wayaskhsyallâh wayattaqhu (takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya). Menurut al-Asfahani, kata khasyah berarti khawf (takut) yang disertai dengan ta‘zhîm (pengagungan). Kebanyakan sikap tersebut didasarkan pada pengetahuan terhadap perkara atau pihak yang ditakuti itu. Oleh karena itu, khasyah kepada Allah Swt. dikhususkan bagi ulama sebagaimana disebutkan dalam QS Fathir [35]: 28.10 Al-Jazairi menjelaskan bahwa takut kepada Allah Swt. adalah takut yang disertai pengetahuan, lalu meninggalkan larangan dan menahan diri dari apa yang disenangi.11

Adapun at-taqwâ berasal dari kata wiqâyah. Makna at-taqwâ secara bahasa adalah menjadikan diri terlindung dari segala yang menakutkan. Karena itu, perasaan takut kadangkala juga disebutkan dengan kata takwa. Kemudian kata takwa digunakan dalam istilah syar‘i dengan makna yang tidak terlalu jauh berbeza. Takwa diertikan sebagai penjagaan diri dari segala perbuatan dosa, dengan jalan meninggalkan larangan; lebih sempurna lagi dengan meninggalkan sebagian perkara mubah.12
Menurut kebanyakan mufassir, antara yakhsya dan yattaqi terdapat kesamaan, iaini sama-sama takut terhadap perbuatan dosa. Bezanya, jika kata yakhsya menggambarkan sikap takut terhadap dosa-dosa yang telah lalu maka kata yattaqi takut terhadap dosa-dosa pada masa yang akan datang.13

Terhadap mereka yang memiliki karakter demikian Allah Swt. berfirman: wa ulâika hum al-fâizûn (Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan). Hal itu disebabkan mereka mendapatkan redha Allah pada Hari Kiamat dan aman dari azab-Nya.14

1 comment: